Hidayatullah.com–Usianya 76 tahun, namun semangat perjuangannya seperti mengalahkan orang muda. Ia masih bisa berdiri di pentas dalam waktu lama untuk menyampaikan bait-bait puisi yang mengetarkan jiwa pendengar dan pecinta dunia seni dan sastra.
Kadang, ceramahnya memukau. Ayat-ayat yang digunakan saat menyampaikan pidayo sukar untuk dibedakan. Apakah ia sedang berpuisi atau berceramah, karena bahasa yang digunakan juga bait-bait puisi. Hal demikian disebabkan ia sangat dewasa dalam berbahasa. Ia menganggap, makan minumnya adalah bahasa, tidur berbaringnya adalah bahasa, berjalan dan berdirinya juga bahasa, apalagi disaat di pentas di depan khalayak- pastinya persoalan bahasa yang ditekankan.
Pendek kata, ia telah meniti kehidupannya dari usia dari muda sehingga sekarang dengan kecintaan pada bahasa Melayu. Beliau tak lain adalah Dato’ A Samad Said atau akrab dipanggil Pak Samad.
Dalam pentas di Balai Islam, Kota Bharu, Kelantan, kemarin, tiga kali dia berkesempatan berbicara. Pertama membacakan puisi berjudul “Dari Dinding Dewan” dan kedua, “Dari Dinding Madarasah”. Di sela-sela keduannya, ia diberikan kesempatan sesi tanya-jawab. Menariknya, semua jawaban disampaikan secara puitis, bahkan sesekali humoris.
Dalam pidato puitisnya, Pak Samad terlihat sedikit marah. Ia marah kepada pemimpin UMNO/ BN, partai berpengaruh di Malaysia. Namun karena amarahnya disampaikan dengan bahasa puitis, sehingga ungkapan marahnya tidak nampak layaknya bahasa para politis.
“Yang menggusarkan saya bila melihat pemimpin Malaysia selama lima dekade dikuasai kaum bangsawan, tak ada dari kaum bawahsawan. Mereka itu saat berkumpul untuk sarapan pagi berbicara orang putih. Tak pernah merasai kesusahan seperti dirasai rakyat.
Kalau nampak susah pun, itu pura-pura. Mengayuh basikal (bycicle) dan naik bas (bus). Semua itu hanya akting,” Kata Pak Samad.
Selanjutnya Pak Samad mengulang sepintas tentang sejarah kemerdekaan. “Tunku Abdul Rahman Putera bukan seorang pejuang kemerdekaan, sebaliknya seorang penyambut kemerdekaan. Pejuang kemerdekaan sebenarnya adalah Dr. Burhanuddin Al- Helmi, Ahmad Bostaman, Mat Indera dan lain-lain, tapi oleh karena tokoh-tokoh itu tak disenangi Inggris ditangkap dan akhirnya yang menyanjung Inggeris dan dijadikan sebagai bapak kemerdekaan.”
Rupanya bahasa puitis punya kekuatan tersendiri bila sang bicaranya memiliki kekuatan rohani yang kental, biarpun fisiknya tampak sedikit berkurang lantaran usia. Sasterawan Negara itu tetap mampu memukau khalayak lewat pesan yang jelas yang disampaikan.
“Sewaktu dalam ASAS 50 bersama teman-teman seperti Allahyarham Osman Awang, Allahyarham Kris Mas, Mashuri SN, saat itu usia saya baru belasan tahun atau duapuluhan tahun. Saya mengidamkan dunia yang cantik. Saya khayalkan dunia ini seperti itu, tapi sampai usia saya mencapai 76 tahun hari ini, dunia bukan semakin cantik sebaliknya semakin bodoh dan bodoh,” ujarnya.
Meski pentas Pak Samad berbarengan dengan pertandingan sepakbola antara Kelantan- Terengganu di Stadium Sultan Muhamad Ke IV, Kota Bharu yang jaraknya kurang lebih satu kilometer, aksi santranya tak menggeser kursi penonton.
Meski keputusan terakhir pertandingan kedua pihak malam itu seri 2:2. Namun khalayak di dalam dewan kesenian itu seolah tak begitu mempedulikan hasil pertandingan. Mayoritas penononton lebih terfokus kepada pesan puisi Pak Samad.
Selain Dato’ A. Samad Said, hadir juga dalam acara itu Exco Kanan Kerajaan Kelantan, YB Haji Husan Musa dan puteri Datuk Seri Anwar Ibrahim, anggota dewan Lembah Pantai, YB Nurul Izah Anwar.*/Rossem