Hidayatullah.com–Lebih dari seratus insiden di masjid-masjid di Belanda terjadi antara tahun 2005 dan 2010. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding di negara-negara lain. Para pelaku biasanya bebas. Kaum muslim sendiri jarang mengajukan gugatan. Demikian tertera dalam buku baru mengenai islamofobia dan diskriminasi di Belanda.
Selama periode tahun sembilan puluhan, Belanda sangat toleran terhadap agama lain, demikian guru besar kehormatan dari Universitas Amsterdam, Frank Bovenkerk.
“Sampai tiba-tiba angket menunjukkan adanya perkembangan perlawanan yang besar terhadap islam. Para peneliti berpendapat: tidak mungkin, begitu melenceng dari masa lalu. Tapi kenyataan memang demikian,” demikian Frank Bovenkerk dikutip RNW, Kamis (13/01/2012).
Kemudian berlangsunglah serangan 11 September 2001 dan pembunuhan terhadap sineas Theo van Gogh tahun 2004. Politik Belanda semakin memantik kebencian terhadap Islam.
”Ketika wakil Perdana Menteri Gerrit Zalm mengatakan sesudah pembunuhan Theo Van Gogh: ‘Kita dalam perang’,” kata Bovenkerk
Di sisi lain, menurut Bovenkerk, politisi seperti Pim Fortuyn dan Geert Wilders dinilai ikut menciptakan rasa kebencian terhadap Islam di Belanda.
Insiden kebencian
Ineke van der Valk melakukan penelitian terhadap ”Islamofobia dan diskriminasi,” seperti judul buku yang baru saja dipublikasikan. Ia mencatat sebanyak 117 insiden di masjid-masjid di Belanda antara tahun 2005 dan 2010. Jumlah insiden di Amerika Serikat selama periode yang sama tercatat 42.
Antara lain pembakaran, grafiti, pengrusakan dan lain-lainnya.
“Surat berisi serbuk, ancaman lewat tilpon ataupun aksi-aksi seperti menggantung domba mati di tembok masjid, dengan disertai tulisan ‘No Masjid!’. Atau kepala babi. Atau melumuri tembok masjid dengan darah domba atau babi, yang bagi orang muslim dipandang sebagai provokasi dan penghinaan.”
Insiden-insiden seperti ini banyak terjadi di kota-kota kecil. Di kota-kota besar, penerimaan terhadap kaum pendatang lebih baik karena mereka sudah tinggal lebih lama di sana, demikian pendapat sang peneliti.
Sayangnya, tidak semua insiden dilaporkan. Terkadang atas nasehat polisi, atau karena pimpinan masjid sendiri takut akan terjadinya pengulangan. Tapi juga sedikit banyak karena sikap tidak peduli, demikian dikatakan Aissa Zanzen dari Organisasi Masjid Maroko di Amsterdam dan sekitarnya.
“Orang berpendapat: hal itu toh akan terjadi. Masyarakat semakin mengeras, situasinya seperti itu, dan tiap kali anda mendengar di media bahwa muslim menjadi kambing hitam untuk semuanya. Di samping itu orang juga berpendapat: polisi toh tidak akan melakukan apa-apa, dan menyampaikan gugatan akan makan waktu saja. Faktor lainnya adalah penguasaan bahasa yang bisa menjadi penghalang.”
Menariknya, 99 dari 117 kasus dikriminasi kepada kaum Muslim pelakunya tidaklah diketahui.
“Ini membuat orang berpikir’’, kata Van der Valk.
‘‘Sudah saatnya pihak kehakiman dan polisi bertindak lebih tegas dalam hal ini.”
Kebencian terhadap Muslim tak terbatas di situ. Masih ada lagi Islamofobia di internet.
Ronald Eissens dari Pusat Pelaporan Diskriminasi Internet mengatakan, tahun 2011 dilaporkan ada 290 kasus kebencian.
”Pada tahun 2011 terdapat 290 laporan mengenai pernyataan islamofobia, dan hampir seperlima dari seluruh laporan berkaitan dengan diskriminasi.”
Bahkan diskriminasi dalam internet berbahasa Belanda semakin menjadi ‘mainstream’, tambah Eissens. ”Dari tempat yang remang-remang dan gelap ke tempat-tempat yang semakin terang yaitu ke forum-forum situs web populer yang banyak dibaca orang.”
Karenanya, Ineke van der Valk menyarankan menangani masalah social ini. Di samping itu keterbukaan masyarakat harus ditekankan dan nilai-nilai pluralisme harus dijunjung tinggi. Norwegia dinilai bagus dalam menyikapi situasi sesudah serangan Anders Breivik, kata Ineke van der Valk.
“Kalangan politisi Belanda bisa belajar dari Norwegia. Karena di sini, mereka cenderung memalingkan muka dan berharap islamofobia akan berlalu dengan sendirinya. Kita harus lebih banyak memunculkan cerita-cerita kita sendiri dan berdiri kokoh mempertahankan nilai-nilai yang kita anggap penting bagi demokrasi dan negara hukum.”*