Hidayatullah.com– Ayaan Hirsi Ali, perempuan Belanda berdarah Somalia, yang mendadak terkenal dan disanjung Barat karena dianggap pengkritik Islam dan pandangannya yang liberal. Sementara di sisi lain Aafia Siddiqui, seorang perempuan asal Pakistan banyak dimusuhi karena lebih memilih jalan jihad dan mendukung perang melawan Barat yang kafir.
Dua perempuan itu sama-sama dibesarkan berstatus Muslimah di negara Barat, namun menempuh jalan hidup yang berbeda. Wartawati Amerika Deborah Scroggins, baru-baru ini meneliti kehidupan dua perempuan ini yang menjadi lambang diskusi soal Islam dan Barat, demikian dikutip RNW, Jumat (09/03/2012) lalu.
Sama-sama mengaku Muslimah
Bagi keduanya, Islam menjadi titik awal kehidupan mereka. Ketika berusia 16 tahun, Ayaan Hirsi Ali mulai menghadiri pelajaran agama yang diberikan oleh Aziza, guru agamanya di Nairobi. Ia belajar bahwa orang Yahudi menguasai dunia. Ayaan yang ketika itu berkerudung, merasa dirinya sebagai seorang muslimah tulen.
Ketika masih kecil, Aafia Siddiqui menemani ibunya ke pelbagai pertemuan perempuan. Ia membagikan brosur tentang Islam, suatu hal tidak lazim dilakukan seorang gadis di Pakistan.
Kedua perempuan tersebut meninggalkan tanah kelahiran untuk bertolak ke Barat. Sejak itu masing-masing memilih menempuh jalan hidup berbeda.
Hirsi Ali terkenal di Belanda karena mengkritik keras Islam. Ia memakai kisah hidupnya sendiri sebagai contoh. Sementara Siddiqui, dalam kuliah neurologi, berapi-api menyatakan dukungannya terhadap jihad. Hubungan dia dengan Al-Qaidah semakin kuat dan akhirnya divonis bersalah karena berupaya membunuh militer Amerika.
Untuk bukunya berjudul “Wanted Women”, Deborah Scroggins, selama enam tahun meneliti perbedaan dan persamaan antara kedua perempuan tersebut.
Pada awalnya kedua perempuan ini dipandang sebagai migran yang patut dicontoh. Ketika baru tinggal di Belanda, Hirsi Ali berusaha keras mirip orang Belanda. Pada waktu yang sama, dia merasa orang Belanda itu “bodoh”.
Juga Siddiqui berhasil menyesuaikan diri di Amerika Serikat. Dia sangat serius mengikuti kuliah. Tapi dia tetap menjaga jarak. Dia berpegang teguh pada apa yang ditulis dalam al-Quran: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah berhubungan dengan yahudi atau orang kristen.”
Di Amerika, Siddiqui mengunjungi berbagai pertemuan kelompok feminis. Namun ia tidak berubah dan menanggalkan kemuslimannya. Apa yang didengarnya di sana, misalnya soal perkosaan ketika sedang berkencan atau fenomena lainnya mengkukuhkan pandangannya bahwa dunia Barat sudah rusak dan sangat berbahaya buat perempuan.
Berasal dari Somalia, Hirsi mememiliki pengalaman pribadi yang membentuk pandangannya tentang perlakuan yang diterima wanita Muslim. Awalnya, ia terbang ke Belanda untuk melarikan diri dari permenikahan paksa. Ia kemudian penerjemah di tempat-tempat penampungan Belanda. Ia berpandangan sempit, menurutnya, adanya penyiksaan terhadap perempuan Afrika seolah menyamakan bahwa penindasan perempuan itu melekat dalam Islam. Semenjak itu ia memilih hidup bebas.
Meski keduanya sama-sama pekerja keras. Siddiqui lain dengan Hirsi. Selain sebagai ilmuwan, ia seorang ibu dan aktivis jihad. Hirsi Ali mengelilingi Belanda untuk menjadi penerjemah. Ketika ia menuntut ilmu di Universitas Leiden, ia juga harus mengurus saudara perempuannya yang sakit jiwa dan akhirnya meninggal.
Keduanya ingin menyelamatkan muslim dengan caranya sendiri. Satunya ingin menyelamatkan orang-orang yang beriman yang tertindas dan lainnya menyelamatkan orang-orang tak beriman yang tertindas. Yang satunya hanya dengan kata-kata sementara lainnya dengan kata-kata dan senjata.
Pilihan bebas
Memakai pakaian yang disuka menurut Siddiqui berarti: tidak malu dengan cadar. Di foto ketika ia lulus ia mengenakan baret di atas rambutnya yang terurai, namun ia juga mengenakan jubah hitam dengan cadar hitam. Sementara Hirsi Ali tampil dengan rambut pendek dan celana jins ketika i Belanda.
Keduanya juga tak bersedia menikah dengan laki-laki yang dijodohkan. Ayaan tadinya setuju ketika ia ingin dimenikahkan dengan salah satu anggota keluarganya. Namun ketika di Belanda, ia membatalkannya. “Saya ingin mengarungi hidup sendiri, dan menjadi orang yang mendiri.”
Siddiqui juga menolak calon suami yang ditawarkan keluarganya. Ia lebih baik memilih menikah dengan seorang pejuang jihad dibanding seorang dokter “lemah”yang disodorkan keluarganya. Ia baru menikah dengan ketika sang dokter menyatakan bersedia berjihad. Kendati akhirnya pernikahan itu kandas.
Dikejar
Siddiqui yang asal Pakistan itu bersembunyi dari CIA dan FBI. Sedang Hirsi Ali dipuji-puji Barat namun nyawanya diancam kalangan Muslim yang mengganggap dirinya pengkhianat. Atas dukungan Barat ia menjadi anggota parlemen dan mendapat perlindungan penuh dari otoritas Belanda.
Nasib keduanya sama-sama berakhir di Amerika. Hirsi Ali (42) menjadi terkenal ketika “memusuhi Islam” dan banjir order sebagai pembicara serta pemikirannya dihargai Barat. Sementara Aafia Siddqui (40) diinterogasi di Afghanistan tahun 2008 dan diserahkan tentara Pakistan ke Amerika, meski pengacara Siddiqui berpendapat tidak ada bukti fisik ia menyentuh senjata yang dituduhkan.
Aafiah yang menyandang gelar PhD dari Institut Teknologi Massachusetts ini dipisahkan secara paksa dari anak-anaknya, dihukum Amerika dengan hukuman seumur hidup dan harus berada di penjara sampai 84 tahun lagi.*