Hidayatullah.com—Dalam sidang hari pertamanya pada akhir Februari kemarin di pengadilan militer di Fort Meade, Maryland, prajurit Amerika Serikat pembocor ratusan ribu dokumen rahasia Paman Sam, Bradley Manning, mengaku bahwa dirinya sempat menawarkan dokumen-dokumen itu kepada media arus utama, sebelum akhirnya ditampung oleh WikiLeaks.
Manning dituduh melakukan pembocoran dokumen rahasia terbesar sepanjang sejarah berdirinya negara Amerika Serikat. Dalam 35 halaman pengakuannya, Manning menulis bagaimana dia mengunduh informasi rahasia itu lalu memindahkannya ke tangan situs anti-rahasia, WikiLeaks.
Manning mengaku ingin bocoran dokumen itu dimuat di media-media araus utama seperti Washington Post, New York Times dan Politico. Tapi setelah dia gagal menembus semuanya dia merasa frustasi, lalu menawarkannya kepada WikiLeaks yang ternyata menerima dengan tangan terbuka.
Saat cuti dari tugasnya di Iraq dan tinggal di Washington pada Januari 2010, Manning mengontak Washington Post. Pemuda itu menanyakan apakah media terkemuka AS itu tertarik untuk menerima informasi yang disebutnya akan “sangat penting bagi rakyat Amerika.” Dia berbicara dengan seorang reporter wanita, tetapi kata Manning “wanita itu tidak menanggapi saya serius.”
Menurut Manning, wanita itu mengatakan bahwa korannya hanya tertarik dengan topik-topik pilihan redaktur seniornya.
Tidak mau lama menanti birokrasi Washington Post, Manning lalu beralih ke New York Times. Pemuda berkacamata itu mengontak redaktur umumnya, tapi justru diterima oleh kotak suara.
Dia kemudian beralih ke media-media lain, namun lagi-lagi hanya diterima oleh kotak suara. Meskipun dia meninggalkan pesan lewat Skype, tidak ada seorang pun pihak media yang mengontaknya balik.
Manning mengaku berpikir untuk menawarkannya ke situs Politico, tapi cuaca yang tidak bersahabat menghalangi maksudnya.
Manning berpendapat, apa yang dibocorkannya ke publik tidak akan membahayakan pemerintah dan negara Amerika Serikat, meskipun hal itu akan membuat malu Washington.
Dia juga merasa punya tanggungjawab moral untuk memberitahu apa yang sebenarnya terjadi dalam perang Amerika di luar negeri. Manning merasa rakyat Amerika harus tahun “ongkos perang yang sebenarnya.”
“Saya merasa kita terlalu banyak membahayakan nyawa orang yang kelihatan tidak mau bekerjasama dengan kita, sehingga mengakibatkan kita frustasi dan menimbulkan kekerasan di kedua belah pihak. Saya mulai merasa tertekan dengan situasi itu, di mana kita dari tahun ke tahun semakin terpuruk.”
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
“Kita terobsesi untuk menangkap dan membunuhi target manusia yang ada dalam daftar dan mengesampingkan misi dan tujuan sebenarnya. Saya percaya jika masyarakat, khususnya masyarakat Amerika, melihat hal ini maka akan menimbulkan perdebatan dalam militer dan kebijakan luar negeri kita di Iraq dan Afghanistan secara umum. Bisa jadi hal itu akan membuat masyarakat berpikir ulang tentang perlunya kita terlibat dalam kontra terorisme, di mana pada saat yang sama mengabaikan situasi kemanusiaan dari orang-orang yang berhubungan dengan kita sehari-hari,” kata Manning dikutip The Guardian (28/2/2013).
Manning dalam pengkuannya menceritakan bahwa dia terlibat diskusi panjang dengan orang WikiLeaks bernama samaran “Ox” atau “Nathaniel”. Manning menduga “Nathaniel” adalah Julian Assange.*