Hidayatullah.com—Parlemen Libya telah sepakat untuk melarang siapa saja yang pernah menjadi pejabat tinggi selama 42 tahun rezim Muammar Qadhafi untuk menduduki jabatan di pemerintahan lagi.
Para politisi Libya memperdebatkan masalah ini selama berbulan-bulan. Namun, isu ini kembali mengemuka setelah pekan kemarin kelompok-kelompok bersenjata menduduki dua kantor kementerian dan institusi pemerintah lain, termasuk lembaga penyiaran.
Rancangan undang-undang yang nantinya akan menjadi undang-undang tersebut bakal mendongkel sejumlah pejabat pemerintah saat ini, meskipun mereka dulu ikut menentang dan menggulingkan Muammar Qadhafi.
Perdana menteri Libya saat ini, Ali Zeidan, di antara pejabat tinggi yang potensial kena gusur. Pasalnya, Zeidan pernah menjadi seorang diplomat pada masa pemerintahan Qadhafi meskipun dia kemudian membelot dan lari ke pengasingan pada tahun 1980.
Namun, jurubicara parlemen mengatakan, bagaimana peraturan itu akan dilaksanakan akan diputuskan oleh sebuah komite di parlemen.
“Tidak adil terhadap segelintir orang lebih baik daripada mengorbankan seluruh obyek hukum,” kata salah seorang dari ratusan demonstran yang merayakan diloloskannya rancangan undang-undang tersebut, lansir Aljazeera Ahad (5/5/2013).
Meskipun RUU itu diloloskan oleh 164 suara dan hanya 4 suara yang menentang, namun banyak anggota Kongres Libya kesal dibuatnya. Sebab, selain melarang mantan pejabat era Qadhafi duduk kembali di pemerintahan, peraturan itu juga melarang mereka menjadi anggota partai apapun, menjadi pejabat di perusahaan-perusahaan plat merah, di perguruan-perguruan tinggi dan juga lembaga kehakiman.
“Ini hukum yang sangat tidak adil dan ekstrim, tapi kami memerlukannya demi mengutamakan kepentingan nasional guna menyelesaikan krisis,” kata Tawfiq Breik, jurubicara blok liberal Aliansi Kekuatan Nasional, koalisi terbesar dalam parlemen Libya.
Para diplomat yang mewakili Tripoli mengeluhkan RUU itu. Sementara sebuah kelompok HAM meminta parlemen menolak peraturan tersebut.
Para anggota Kongres mengatakan, peraturan itu bisa jadi melibas sekitar 40 dari 200 anggota parlemen, termasuk Muhammad Magarief, ketua parlemen, yang mengasingkan diri tahun 1980-an setelah menjadi seorang duta besar di bawah pemerintahan Qadhafi.*