Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Hidayatullah.com–Setahun lalu setelah debat alot dan panjang, Jerman meloloskan aturan khitan baru yang kontroversial. Kini kalangan kritik menyebut aturan tersebut tidak menjamin kesejahteraan anak.
Keputusan yang ditetapkan pengadilan Köln pada musim semi 2012 memicu debat hangat menyangkut ritual khitan Muslim dan Yahudi. Pengadilan memutuskan bahwa sunat (khitan) non-medis membahayakan tubuh.
Baik suporter maupun kritik praktek non-medis berdiskusi panjang di televisi dan halaman editorial, melontarkan argumen medis dan etis. Pertanyaan utamanya tetap: bagaimana mempertemukan kebebasan beragama dan hak orangtua untuk memilih cara membesarkan anak di satu sisi, dengan kesejahteraan anak-anak di sisi lain.
Sebuah undang-undang dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Paragraf 1631d dari kitab hukum perdata menyatakan bahwa khitan anak lelaki adalah legal dan harus dilakukan sesuai ‘aturan profesi medis’ – seaman mungkin dan dengan penghilang rasa nyeri yang efektif. Orangtua harus diberitahu risiko prosedur, tidak boleh membahayakan kesejahteraan anak, dan permintaan anak yang sudah cukup besar harus dipertimbangkan. Perwakilan dari komunitas Muslim dan Yahudi di Jerman mengaku puas dengan syarat yang ditentukan.
Aturan Baru
Menteri Kehakiman saat itu, Sabine Leutheusser-Schnarrenberger, yang mengajukan undang-undang, mengatakan aturan baru menggantikan apa yang disebut sebagai status quo sebelum putusan pengadilan Köln.
Namun setahun setelah berlaku, undang-undang ini gagal total – setidaknya menurut kalangan kritik, yang mengatakan khitan merupakan pelanggaran atas integritas fisik anak. Mereka menambahkan, anak lelaki kerap tidak melewati prosedur yang aman.
“Aturan melegalisasi cara amputasi kulit khitan anak yang patut dipertanyakan,” kata Christian Bahls, Ketua Asosiasi Mogis, dikutip DW. DE.
Bahls merujuk pada sebuah kasus di Berlin yang melancarkan metode Yahudi, Metzitzah B’Peh – di mana pengkhitan menghisap luka khitan menggunakan mulut, dan bukan pipet atau tabung kecil. Karena berisiko infeksi, Asosiasi Rawat Jalan Anak Israel (IAPA), serta asosiasi lainnya, sudah melarang praktek tersebut.
Mogis menuntut ayah bayi lelaki tersebut, seorang rabi, begitu juga dengan kakeknya yang memegangi bayi saat dikhitan. Namun kasus dibatalkan karena tidak dapat ditemukan bukti adanya tindak kriminal, dan sang pengkhitan tinggal di luar Jerman sehingga berada di luar yurisdiksi.
Bahls menilai kejadian ini sebagai bukti bahwa aturan baru tidak melindungi kesejahteraan anak. Ia mengklaim jaksa penuntut umum membatalkan kasus dengan alasan bahwa penggunaan pembalut anti nyeri setelah khitan sudah cukup dari segi medis.
“Jelas bahwa mengamputasi kulit khitan seorang anak tanpa pembiusan yang memadai itu diperbolehkan,” tutur Bahls. “Itu yang diperbolehkan oleh hokum,” tambah Bahls dikutip DW.DE.
nggota parlemen Jerman menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang khitan bayi laki-laki.
UU tentang Khitan
Sebelumnya, Rabu, (12/2012) aturan baru membolehkan khitan sudah disahkan di Majelis Rendah Bundestag.
UU ini menyatakan, operasi itu bisa dilakukan, asalkan orang tua diberitahu tentang resiko khitan. Orang tua pun berhak untuk membawa anak-anak mereka untuk dikhitan oleh praktisi yang terlatih. Kemudian, setelah anak mencapai usia enam bulan, khitan harus dilakukan oleh dokter.
UU juga mengatur bahwa dokter ahli atau terlatih harus melakukan operasi. Sementara, rasa sakit harus diminimalisir untuk khitan anak-anak. Khitan disebut tidak dapat berlangsung jika ada keraguan tentang kesehatan anak.
Beleid ini sempat memicu perdebatan emosional atas perlakuan terhadap Muslim, Yahudi dan minoritas agama lainnya.
Pembatasan khitan bermotif agama akan menjadi sangat sensitif di Jerman karena penganiayaan negara Yahudi dan minoritas lainnya selama periode Nazi.*