Hidayatullah.com–Sejumlah organisasi internasional sipil Mesir menuntut dingkapnya kasus hak asasi manusia terhadap Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, demikian lansir Al Quds Al Arabi (10/15/2015).
Merek menyeru untuk dibentuknya sebuah komisi penyelidikan internasional independen, untuk menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh otoritas Mesir mengatakan bahwa Dewan Nasional untuk Hak Asasi Manusia di Mesir berperan signifikan dalam melindungi kriminalitas.
Pernyataan tersebut datang dari beberapa organisasi Mesir dalam konferensi pers pada pada momen Hari Internasional Hak Asasi Manusia yang berlangsung di Istanbul, yang digelar oleh PBB pada tanggal sepuluh Desember setiap tahun.
“Dewan Nasional untuk Hak Asasi Manusia di Mesir , sangat berperan penting dalam menutupi kejahatan-kejahatan ini, sebab tidak menjalankan tugas sebagai mana mestinya, serta membenarkan penindasan dan represi dari Otoritas Mesir terhadap masyarakat. ” Demikian pernyataan sejumlah organisasi tersebut.
Pernyataan ini dibaca oleh Hakim Walid Sharabi, yang ditandatangani oleh Asosiasi Dunia Hak dan Kebebasan serta Monitor Hak Asasi Manusia, dan Yayasan “Kemanusiaan”, Simposium Hak dan Kebebasan.
Pernyataan tersebut meminta dibukanya kesempatan bagi media massa untuk menunjukkan fakta-fakta pada publik, karena penutupan terhadap fakta merupakan tanda bahwa kriminal yang terjadi cukuplah besar. Dan kriminal yang “bocor” hanya sebagian kecil dari berbagai kriminal yang ada.
Pernyataan tersebut juga menyeru agar organisasi- organisasi hak asasi manusia (non-politik) yang beroperasi di Mesir, untuk memainkan perannya dalam mendokumentasikan semua kejahatan yang dilakukan oleh rezim tanpa rasa takut.
Seruan juga ditujukan kepada komite koordinasi internasional yang berasal dari komite lembaga nasional dan mekanisme regional (Prinsip Paris), untuk menangguhkan keanggotaan Dewan Nasional Mesir untuk Komite Hak Asasi Manusia, sebab keikutsertaannya dalam mendukung kejahatan politik, dan kegagalannya dalam meminimalisir kejahatan-kejahatan.
Pada konferensi yang sama, Haitham Ghoneim, dari Asosiasi Dunia Hak dan Kebebasan untuk tahanan, mengatakan bahwa orang hilang telah meningkat pada bulan November lalu, dan mencapai 40 kasus. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya upaya untuk membungkam pihak oposisi.
Dalam sambutannya Haitham Ghoneim juga mengatakan bahwa yang paling menonjol sebagai lokasi penahanan adalah adalah pusat tahanan di propinsi, kantor polisi, dan lokasi lainnya. Kurangnya akses untuk memasuki penjara dan markas penahanan enjadikan alasan bahwa tahanan bergabung dengan organisasi ISIS/IS.
Asosiasi mendapati hilangnya tahanan dua mahasiswa di Universitas 6 Oktober, setelah keputusan untuk membebaskan mereka. Insiden tersebut satu dari 10 insiden yang terjadi selama satu bulan beruntun .
Pihak Asosiasi juga menuntut penghentian segera kebijakan penculikan dan menunjukkan nasib tahanan, mendeteksi pelanggaran dan membawa para pelaku ke pengadilan serta pembukaan markas penahanan.
Masih dari Asosiasi Hak Asasi Manusia, Salman Ashraf mengatakan bahwa ada 6 perempuan yang hilang, juga 63 wanita yang ditahan tanpa adanya keterangan yang jelas, sekitar 200 kasus pembunuhan diantaranya anak-anak.
Salma Ashraf melanjutkan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan pusat-pusat penahanan, dengan hiangnya 10 perempuan di Dimyat, yang kemudian disiksa. Juga 6 kasus kelalaian medis, seorang gadis divonis lumpuh permanen akibat penyiksaan dan 16 lainnya membutuhkan rekomendasi penangan medis.
Perwakilan dari Yayasan Kemanusiaan, Hudhaifah Futtuh, telah menyampaikan pidato, selama konferensi pers yang sama mengungkapkan ada 40 ribu tahanan sejak kudeta, termasuk lebih dari 3.200 anak kecil telah ditangkap, di antaranya 380 tahanan tewas di penjara.
Hudhaifah Futtuh mengungkapkan bahwa tahun ini ada 59 tahanan yang tewas, dan sekitar 2.200 wanita ditangkap. Ia menyerukan untuk mengakhiri penahanan, pembebasan tahanan, dan pengungkapan nasib mereka, serta mengajak intervensi dari masyarakat internasional untuk mendeteksi pelanggaran yang terjadi di Mesir.