Hidayatullah.com—Seorang pemuda kulit putih terdakwa pembunuhan 9 orang kulit hitam jemaat sebuah gereja di South Carolina, Amerika Serikat, akan diperbolehkan membela dirinya sendiri tanpa didampingi pengacara di persidangan, kata seorang hakim federal.
Hakim Richard Gergel mengatakan keinginan pemuda berusia 22 tahun bernama Dylann Roof untuk mewakili dirinya sendiri dalam persidangan adalah “tidak bijak.” Meskipun demikian permintaannya dipenuhi.
Perkembangan mengejutkan itu muncul ketika anggota juri yang akan mengadili kasus tersebut mulai dipilih, lapor BBC Senin (28/11/2016).
Pekan lalu, Roof dianggap berkompeten untuk dihadirkan di persidangan dalam kasus penembakan 9 jemaat gereja di Charleston pada Juni 2015.
Mulai hari Senin, 516 juri potensial ditanyai satu persatu oleh hakim. Dua belas dari mereka akan dipilih guna memutuskan perkara apakah terdakwa bersalah atau tidak dalam kasus tersebut.
Sementara hakim mulai menyeleksi juri potensial, 10 orang pertama yang dipilih berkulit putih, Roof tidak mengajukan pertanyaan atau menyatakan keberatan atas anggota juri yang dipilih.
Roof, seorang pendukung gerakan supremasi kulit putih, menghadapi 33 dakwaan federal termasuk kejahatan dengan latar belakang kebencian.
Pemuda itu sudah dinyatakan kompeten untuk menjalani sidang di pengadilan negara bagian, di mana dia menghadapi 9 dakwaan pembunuhan, dan jaksa penuntut mengatakan mereka berupaya agar terdakwa dijatuhi hukuman mati.
Seorang wanita yang terpilih menjadi juri akhirnya dibatalkan oleh hakim, setelah menyatakan keberatan dengan hukuman mati.
Hakim juga membatalkan seorang juri laki-laki yang berkeyakinan bahwa semua pembunuh harus divonis mati jika pelaku dinyatakan waras untuk menjalani persidangan, lapor Post and Courier seperti dilansir BBC.
Jaksa federal mengklaim penembakan massal atas satu kelas pelajaran Bibel di Emanuel African Methodist Episcopal Chruch di Charleston merupakan kejahatan bermotif rasial.
Pelaku sengaja tidak menembak tiga orang dalam serangan itu agar mereka dapat menceritakan kepada pihak berwenang bahwa penembakan dilakukan karena pemuda itu membenci orang kulit hitam.
Foto-foto yang muncul setelah peristiwa penembakan menampakkan pemuda kulit putih itu sedang memegang bendera perang Konfederasi, yang dalam sejarah Amerika Serikat dikenal sebagai bendera negara bagian dan orang-orang kulit putih pendukung perbudakan. Seiring waktu bendera itu kemudian menjadi simbol yang biasa dipakai pendukung supremasi kulit putih, kelompok rasis serta pendukung perbudakan di Amerika Serikat.*