Hidayatullah.com—Turki tidak akan memutuskan hubungan dengan Barat, kata Wakil Perdana Menteri Mehmet Simsek, bahkan Ankara ingin mempererat hubungan kedua pihak.
“Turki tidak akan memutus hubungan dengan Barat. Sebaliknya, kami ingin mempererat hubungan dengan Barat,” kata Simsek dalam pidato pembukaan KTT Ekonomi Eurasia Ke-20 yang digelar oleh Marmara Group Foundation hari Rabu (5/4/2017) di Istanbul.
Menegaskan bahwa Turki telah mengambil langkah drastis sejak percobaan kudeta Juli 2016, Simsek mengatakan bahwa kebijakan yang diambil bukan dalam bentuk baru dan Ankara hanya terpaksa melakukan perlawanan terhadap ancaman yang muncul.
“Kami tidak akan menerapkan kebijakan isolasi (menutup diri dari dunia luar),” kata Simsek seperti dikutip Hurriyet.
Lebih lanjut Simsek mengatakan bahwa dia yakin Turki akan kembali mencatatkan pertumbuhan lebih kuat dalam masa dekat.
Turki menuding Fethullah Gulen, tokoh Muslim yang bermukim di Amerika Serikat, sebagai otak percobaan kudeta tahun lalu. Menyusul peristiwa itu pemerintah melancarkan perburuan besar-besaran atas para pengikut Gulen, yang dituduhnya menyusup ke berbagai lembaga negara dan militer sebagai upaya untuk menggulingkan pemerintahan.
Menyatakan bahwa status darurat hanya bersifat sementara, Simsek mengatakan Turki tidak hanya bermasalah dengan Gerakan Gulenis, tetapi juga menghadapi imbas konflik di Suriah dan terorisme, baik yang berasal dari Partai Pekerja Kurdi (PKK) maupun ISIS/ISIL alias Daesh.
Simsek mengatakan, meskipun belakangan kondisi hubungan dengan Uni Eropa kurang baik, tetapi dia tetap meyakini bahwa Turki dan UE saling membutuhkan satu sama lain.
“Kami berkomitmen melakukan reformasi dalam konteks Uni Eropa,” wakil wakil PM itu. “Kami tak akan menyerah,” imbuhnya.
Erdogan: UE adalah Aliansi Salibis
Tidak jelas apakah yang dikatakan Simsek itu benar atau sekedar retorika belaka menjelang referendum 16 April, guna mendulang dukungan warga Turki yang tinggal di Eropa dan rakyat Turki yang berharap negaranya bisa bergabung dengan organisasi itu –yang dianggap memiliki prestise tersendiri. Pastinya, pernyataan itu kedengaran sangat berbeda dengan pernyataan Presiden Recep Tayyip Erdogan beberapa waktu belakangan.
Beberapa hari lalu, tepatnya pada hari Ahad (2/4/2017) di Ankara, di hadapan ribuan pendukungnya Erdogan berkata, “Semua pemimpin negara UE pergi ke Vatikan dan mendengarkan Paus dengan khidmat. Apakah sekarang kalian mengerti mengapa mereka tidak menerima Turki ke dalam UE selama 54 tahun? Situasinya sangat jelas terang benderang, itu adalah Aliansi Salibis. Tanggal 16 April juga akan menjadi hari untuk mengevaluasi hal ini.”
Erdogan merujuk pertemuan para pemimpin Uni Eropa dengan Paus Fransiskus pada 24 Maret 2017, sehari sebelum milad Uni Eropa ke-60. Dalam pertemuan itu Paus Fransiskus menyampaikan pesan seputar masa depan organisasi tersebut.
“Saya ternyata benar tentang apa yang telah katakan selama ini [tentang UE],” kata Erdogan. “Mereka sudah berbohong kepada kita berturut-turut selama 14 tahun. Dan mereka terus saja berbohong,” kata Erdogan.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Turki, negara yang 95 persen wilayahnya berada di belahan Asia (Semenanjung Anatolia) dan hanya 5 persen di belahan Eropa (Balkan), pertama kali mengajukan permohonan ke Brussels untuk menjadi anggota UE pada tahun 1987. Namun, prosesnya berjalan alot, tidak hanya karena sangat banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara pemohon, tetapi juga karena dua negara pendiri EU –Jerman dan Prancis– sebenarnya agak berat untuk menerima Turki sebagai anggota blok kerjasama negara-negara di Benua Eropa tersebut. Jerman adalah negara Eropa yang paling banyak menampung warganegara Turki perantauan, sekitar 3 juta orang. Prancis menyusul di urutan kedua, hampir satu juta orang Turki merantau ke negara itu menurut perkiraan tahun 2014.
Sikap bermusuhan pemerintahan Erdogan dengan UE belakangan dipicu oleh tudingan Ankara yang menyatakan negara-negara Eropa melindungi para pengikut Gulen, serta dipersulitnya acara pertemuan para pejabat Turki dengan warganya di Eropa guna mendulang dukungan bagi referendum 19 April yang akan memberikan kekuasaan lebih luas kepada Erdogan sebagai presiden.*