Hidayatullah.com–Kepolisian di Myanmar telah bentrok dengan sekelompok orang yang menghalang-halangi bantuan ke Rakhine sementara sembilan orang meninggal dalam sebuah kecelakaan yang melibatkan satu truk Palang Merah di Bangladesh lapor Aljazeera pada Kamis 21 September 2019.
Kejadian pada Rabu itu menghambat upaya bantuan yang sangat dibutuhkan oleh Muslim Rohingya yang telah lari dari kekerasan di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha.
Sekitar 300 massa Buddha di ibukota negara bagian Rakhine, Sittwe, berkumpul pada larut malam Rabu di sebuah dermaga di mana perahu yang membawa barang-barang bantuan sedang bersiap menyeberangi sungai menuju Maungdaw, kantor berita Reuters mengatakan.
Massa memaksa ICRC (Komite Palang Merah Internasional) untuk menurunkan bantuan tersebut dari perahu dan mencegahnya pergi, harian Global New Light of Myanmar melaporkan pada Kamis, mengutip Komite Informasi Myanmar.
Para petugas kepolisian tiba di saat gerombolan orang itu mendekati dermaga, sementara beberapa biksu Buddha juga mencoba menenangkan massa, tetapi massa mulai melempar “batu dan Molotov ke arah polisi anti huru-hara,” laporan itu mengatakan.
Delapan orang telah ditahan dan beberapa polisi terluka sebelum keadaan kembali tenang.
ICRC mengonfirmasi insiden tersebut dan mengatakan pihaknya akan terus mencoba dan mengirimkan bantuan ke wilayah itu.
“Kami akan terus melanjutkan, tidak ada yang ditunda,” Graziella Leite Piccoli, jurubicara wanita ICRC untuk Asia, mengatakan pada kantor berita AFP.
Baca: Militer Myanmar ‘Sengaja Bakar’ Desa-Desa Muslim Rohingya
Ketegangan komunal masih relatif tinggi di Rakhine di mana perlawanan pejuang Rohingya pada akhir bulan lalu mendorong tindakan keras dari militer, membuat 420.000 orang mengungsi ke Bangladesh dalam apa yang disebut PBB sebagai sebuah tindakan “pembersihan etnis”.
Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan khawatir puluhan ribu orang yang terperangkap di Rakhine sangat membutuhkan bantuan, namun akses kemanusiaan masih sulit meskipun janji pemerintah untuk memberikan jalur aman.
Krisis itu telah menyebabkan kecaman pada pemimpin de-facto negara itu, Aung San Suu Kyi, karena menolak menyalahkan pihak militer Myanmar atas tindakan itu, yang oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron katakan sama dengan “genosida”.
Berita-berita bentrokan di Rakhine, di mana pasukan keamanan telah meluluhlantakkan sejumlah desa Rohingya, muncul di saat sebuah truk yang disewa oleh Palang Merah dan ICRC mengalami tabrakan di Bangladesh, menyebabkan sembilan orang meninggal dunia dan melukai 10 lainnya.
“Truk itu sedang membawa makanan untuk pengungsi Rohingya di perbatasan, termasuk untuk mereka yang terdampar di daratan yang tak berpenghuni,” Yasir Arafat, wakil kepala kepolisian di distrik perbatasan Bandarban, mengatakan pada AFP.
Ratusan ribu pengungsi Rohingya telah membanjiri Bangladesh sejak akhir Agustus lalu, tinggal berdesak-desakan di kamp-kamp dan penampungan sementara dekat kota perbatasan Cox’s Bazar.
Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan telah kewalahan dengan arus besar yang masuk dan memperingatkan akan adanya krisis kemanusiaan di kamp-kamp tersebut, di mana mereka berupaya untuk membangun tempat tinggal dan memberikan jatah makanan.
Pemerintah Bangladesh sedang membangun sebuah kamp berukuran besar baru untuk menampung 400.000 orang, tetapi PBB mengatakan itu akan memakan waktu sebelum dilengkapi dengan tenda, toilet dan fasilitas medis.
Pemerintah Myanmar mendapat serangan dari para pemimpin dunia yang mendesak negara itu mengatasi krisis itu dan menghukum militer atas serangan pada Rohingya, yang banyak dicaci maki dengan sebutan “Bengal” di Myanmar.
Baca: ‘Zona Bebas Muslim’ Dinilai Semakin Meningkat di Myanmar
Tetapi Myanmar, yang telah dituduh meremehkan kekerasan itu, bersikeras kalau krisis itu sedang mereda.
“Saya dengan bahagia memberitahukan anda bahwa situasi telah meningkat,” Henry Van Thio, wakil presiden kedua Myanmar, mengatakan pada Majelis Umum PBB pada Rabu.
Dia berkilah tidak ada bentrokan sejak 5 September dan menambahkan bahwa pemerintahannya berkomitmen untuk mengizinkan bantuan masuk.
“Bantuan kemanusiaan merupakan prioritas utama kami. Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa bantuan itu diterima oleh semua yang membutuhkan, tanpa diskriminasi,” katanya.
Terdapat lebih dari satu juta etnis Rohingya di Myanmar sebelum krisis terakhir ini, namun hampir setengahnya telah melarikan diri sejak perlawanan pejuang Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA) pada 25 Agustus dibalas oleh militer Myanmar yang menyasar para penduduk sipil etnis Rohingya.*