Hidayatullah.com–Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres mengungkapkan keprihatinannya atas kesepakatan yang dicapai antara Bangladesh dan Myanmar atas pengembalian ratusan ribu pengungsi etnis Muslim Rohingya tanpa pemantauan penuh oleh badan pengungsi PBB.
Dia mengatakan bahwa penting bagi Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) untuk sepenuhnya terlibat dalam memastikan operasi tersebut sesuai dengan standar internasional.
“Kami yakin akan sangat penting jika UNHCR terlibat penuh dalam operasi tersebut demi menjamin bahwa operasi itu sesuai dengan standar internasional,” kata Guterres dalam sebuah konferensi pers di kantor pusat PBB seperti dilansir AFP, Rabu, 17 Januari 2018.
Baca: Sambangi DPR, UNHCR: Kondisi Warga Rohingya Masih Sangat Memprihatinkan
Guterres khawatir bahwa kelompok pengungsi hanya dikirim kembali ke kamp dan bukan di rumah mereka dan proses pemulangan harus bersifat sukarela dan tidak memaksa.
Periode dua tahun telah ditetapkan untuk menyelesaikan proses berdasarkan kesepakatan yang ditandatangani di Naypyidaw beberapa hari yang lalu.
Guterres, yang bertugas sebagai komisaris tinggi PBB untuk pengungsi selama 10 tahun, mengatakan bahwa badan pengungsi PBB telah berkonsultasi mengenai kesepakatan tersebut. Namun kemudian tidak menjadi sebuah pihak dalam kesepakatan seperti yang biasanya terjadi pada rencana pemulangan pengungsi.
Kesepakatan berlaku bagi sekitar 750.000 etnis Muslim Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh, meninggalkan daerah yang dihuni mayoritas Budha sejak operasi militer diluncurkan di negara bagian Rakhine pada pada Oktober 2016 dan Agustus tahun lalu.
Guterres mengatakan penting bahwa pemulangan tersebut berupa sukarela dan orang Rohingya diizinkan kembali ke rumah asalnya bukan ke kamp-kamp penampungan.
“Hal yang terburuk adalah memindahkan orang-orang ini dari kamp-kamp di Bangladesh ke kamp-kamp di Myanmar,” kata Guterres yang berbicara kepada wartawan setelah mempresentasikan prioritasnya untuk tahun 2018 ke Majelis Umum.
Baca: Rezim Myanmar Blokir Badan Bantuan Dunia untuk Rohingya
Negara-negara anggota PBB pada Desember 2107 mengadopsi sebuah resolusi yang mengecam pembersihan etnis di negara bagian Rakhine.
Pejabat Myanmar bersikeras bahwa kampanye itu bertujuan membasmi ‘militan’ Rohingya, yang menyerang pos polisi pada 25 Agustus. Tapi PBB mengatakan bahwa kekerasan tersebut merupakan pembersihan etnis.
Pada catatan terpisah, tujuh orang dilaporkan terbunuh dan 12 lainnya cedera setelah dipukul polisi di Rakhine.
Sekretaris Pemerintahan Rakhine, Tin Maung Swe mengatakan kasus kekerasan pecah ketika sekitar 4.000 pemrotes mengepung gedung pemerintah setelah upacara tersebut diakhiri sebagai sebuah demonstrasi melawan pemerintah Myanmar.*