Hidayatullah.com–Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi pada hari Selasa (24/12/2019) mengakui bahwa dalam sebuah kasus kompensasi pegawai depresi menjadi penyebab seorang birokrat kementerian melakukan bunuh diri pada tahun 2014. Depresi itu disebabkan oleh kebanyakan bekerja lembur.
Pria itu, yang mulai bekerja di kementerian tersebut pada 2008, bekerja lembur 168 jam pada bulan Maret 2011 dan 178 jam pada bulan berikutnya, guna menanggulangi masalah yang timbul akibat gempa dan tsunami besar di bagian timur Jepang.
Pada bulan November 2013, dia bekerja lembur 135 jam dan pada bulan itu pula dia menunjukkan tanda-tanda depresi. Pria itu bunuh diri akhir Maret tahun selanjutnya, di usia 31 tahun.
Dalam konferensi pers hari Rabu (25/12/2019) Hiroshi Kawahito, pengacara yang mewakili keluarga pria itu, mengatakan di antara barang-barang miliknya ditemukan selembar kertas berisi lirik lagu yang dinyanyikan saat dia baru masuk bekerja.
Kawahito mengatakan para birokrat senior menyanyikan sebuah lagu dalam pesta penyambutannya. Lirik lagu tersebut berbunyi: “Berhasil, berhasil (Saya berhasil diterima bekerja). Saya menanti-nanti pertanyaan dari anggota dewan legislatif. Berhasil, berhasil. Sudah pasti (akan) bekerja lembur,” dan “tidur dua jam.”
Kawahito berkata, “Pria itu diterima bekerja di kementerian dan diharapkan bekerja lembur sangat banyak sejak dia dijanjikan pekerjaan.”
Keluarganya yang berkabung tidak mendapatkan penjelasan apapun dari kementerian selama lima tahun. Mereka mengajukan kompensasi pekerja atas kematian pria itu pada bulan Oktober.
Dalam wawancara dengan Asahi Shimbun, seorang pajabat kementerian mengatakan bahwa setelah pria itu wafat, kantornya melakukan penyelidikan, tetapi belum dapat menyiapkan detil penjelasan yang akurat dan belum memutuskan apakah kompensasi akan diberikan atau tidak.
“Prosedurnya ditunda, dan kami minta maaf karenanya,” imbuh pejabat itu.
Ibu pria itu berkata, “Kementerian dapat mencari orang pengganti (anak saya) untuk bekerja, tetapi keluarga saya tidak dapat mencari pengganti putra saya.”
Di Jepang dikenal istilah karoshi, kematian akibat terlalu banyak bekerja. Ironisnya, isitlah yang terdengar indah di telinga itu semakin banyak terjadi di masyarakat Jepang seiring dengan moderinisasi.*