Hidayatullah.com–Lockdown yang diterapkan untuk menghentikan penyebaran coronavirus penyebab Covid-19 akan membuat jutaan wanita di Afrika, Asia dan lainnya tidak dapat mengakses kebutuhan kesehatan reproduksi.
Terpaksa harus mendekam dalam rumah bersama suami dan lainnya, mereka menghadapi kemungkinan kehamilan yang tidak direncanakan.
Di masa ketidakpastian seperti sekarang ini “wanita harus me-lockdown uterus mereka,” kata Abebe Shibru, direktur Marie Stopes International untuk negara Zimbabwe kepada The Associated Press. “Namun, hal itu tak mungkin dilakukan di daerah pedesaan.”
Delapan belas negara di Afrika memberlakukan lockdown nasional, menurut Africa Centers for Disease Control and Prevention. Semua kecuali orang-orang yang melakukan pekerjaan esensial harus tinggal di rumah selama beberapa pekan, bahkan mungkin lebih lama. Rwanda, negara Sub-Sahara Afrika yang pertama memberlakukan lockdown, sudah memperpanjangnya dua pekan, dan kemungkinan akan ditambah lagi.
Bahkan di mana layanan KB masih dapat diakses, banyak wanita yang mengaku takut keluar dan dipukuli aparat dan dituduh melanggar peraturan.
International Planned Parenthood Federation (IPPF) dalam sebuah laporannya hari Kamis (9/4/2020) mengatakan bahwa satu dari lima klinik anggotanya di seluruh dunia tutup karena wabah Covid-19. lebih dari 5.000 klinik berjalan di 64 negara tutup. Kebanyakan klinik itu berada di Asia Tenggara dan Afrika, tetapi ratusan klinik yang ada di Amerika Latin dan Eropa juga tutup.
Dari Pakistan hingga Jerman hingga Kolombia, anggota-anggota IPPF mereka mengurangi layanan pemeriksaan HIV, respon tindakan kasus KDRT, serta kekurangan alat kontrasepsi.
“Itu merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda,” kata Dirjen IPPF Alvaro Bermejo dalam sebuah pernyataan seperti dikutip Associated Press.
Di Eropa, 100 LSM hari Rabu menyeru pemerintah agar memastikan layanan kesehatan reproduksi tetap dibuka selama pandemi, sebab banyak fasilitas KB yang ditutup selama lockdown diberlakukan.
Akibat lockdown ini diperkirakan akan terjadi lonjakan kehamilan dan kelahiran di Afrika saja.
“Suami dan istri, apa lagi yang dapat mereka lakukan di rumah?” kata Future Gwena, seorang pekerja lapangan Marie Stopes Zimbabwe.
“Menurut saya kita akan banyak mendapatkan kasus kehamilan, dan sayangnya tidak direncanakan. Dan kebanyakan akan mengakibatkan aborsi yang tidak aman, kekerasan dalam rumah tangga. Masyarakat kami sangat paternalistik. Apabila ada yang tidak beres di rumah, maka yang disalahkan si ibu (istri), bahkan meskipun penyebabnya pihak lelaki.”
Shibru mengatakan bahkan di masa normal, wanita yang ingin ber-KB harus mendapat izin suaminya.
Lockdown juga mengakibatkan produksi dan pengiriman alat kontrasepsi tersendat.
“Saat ini saya sedang menunggu kiriman dari Asia, tetapi ditangguhkan,” kata Shibru. “Kami memperkirakan akan terjadi kelangkaan alat-alat kontrasepsi di negara-negara Afrika. Sudah pasti, kondom juga.”
Direktur Marie Stopes Di negara Uganda Carole Sekimpi mengatakan tidak tahu kapan kontrasepsi darurat akan datang, sebab India negara produsennya juga melakukan lockdown. Mereka sudah kehabisan stok untuk satu bulan dan membutuhkan pil kontrasepsi juga.
“Kemarin ketika saya mendengar (tetangga) Kenya bicara soal lockdown Di Nairobi Dan (pelabuhan) Mombasa, saya berpikir, ‘Ya Tuhan, apa yang akan terjadi dengan barang pesanan kami?'”
Tidak hanya baby boom yang diperkirakan akan terjadi, tetapi juga aborsi yang tidak aman akan terpaksa dilakukan oleh orang yang tidak mengharapkan kehamilan di masa pandemi sementara layanan kesehatan reproduksi tutup.
Selain itu, wanita yang berharap dapat hamil mungkin akan mencopot alat kontrasepsi implan sendiri, karena tidak tahu kapan klinik akan beroperasi kembali. Padahal tindakan nekat semacam itu berisiko membahayakan organ reproduksinya.*