Hidayatullah.com–Lebih dari separuh penduduk Lebanon berisiko menghadapi krisis pangan setelah ledakan pelabuhan di Beirut yang menambah banyak kesengsaraan negara itu, sebuah badan PBB memperingatkan.
“Lebih dari separuh penduduk negara itu berisiko gagal mengakses kebutuhan makanan pokok mereka pada akhir tahun,” kata Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk Asia Barat (ESCWA) pada Ahad (30/08/2020), dikutip oleh Al Jazeera.
“Tindakan segera harus diambil untuk mencegah krisis pangan,” ungkap sekretaris eksekutif ESCWA Rola Dashti.
Dashti mengatakan pemerintah Lebanon harus memprioritaskan pembangunan kembali silo di pelabuhan Beirut, tempat penyimpanan biji-bijian terbesar di negara itu.
Lebanon terperosok dalam keruntuhan ekonomi bahkan sebelum ledakan 4 Agustus di pelabuhan Beirut, yang menewaskan 188 orang, melukai ribuan orang, dan menghancurkan sebagian ibu kota.
Lebanon gagal membayar utangnya, sementara nilai mata uang lokal anjlok di pasar dan tingkat kemiskinan melonjak, semua itu berbarengan dengan lonjakan jumlah kasus virus korona.
“Tingkat inflasi rata-rata tahunan kemungkinan akan menjadi lebih dari 50 persen pada 2020, dibandingkan dengan 2,9 persen pada 2019,” kata ESCWA dalam sebuah pernyataan.
Lebanon mengandalkan impor untuk 85 persen dari kebutuhan pangannya dan penghancuran silo di pelabuhan Beirut dapat memperburuk situasi yang sudah mengkhawatirkan, tambah badan-badan bantuan dan para ahli.
ESCWA mengatakan kenaikan biaya transaksi impor makanan dapat menyebabkan kenaikan harga lebih lanjut.
Untuk mencegah krisis, pihak berwenang harus menetapkan batas atas harga pangan dan mendorong penjualan langsung dari produsen lokal ke konsumen, kata Dashti.
Dia juga mendesak komunitas internasional untuk “memperluas program ketahanan pangan yang menargetkan pengungsi dan komunitas tuan rumah” untuk membantu meredakan “potensi ketegangan sosial”.
Awal bulan ini, ESCWA mengatakan lebih dari 55 persen orang Lebanon “terjebak dalam kemiskinan dan berjuang untuk kebutuhan pokok”.*