Hidayatullah.com—Anggota-anggota dewan legislatif Prancis hari Senin (1/2/2021) mulai memperdebatkan teks rancangan undang-undang untuk mencerabut apa yang mereka sebut sebagai “Islamisme” dari negeri sekuler itu. Otoritas di negeri Napoleon tersebut menilai radikalisme (Islam) menyusup ke sektor layanan publik, berbagai asosiasi dan kelompok online, serta sekolah-sekolah dengan tujuan menggerus nilai-nilai nasional Prancis.
RUU tersebut sangat luas cakupannya dan kontroversial, dengan 1.700 usulan amandemen, dan diperkirakan akan menimbulkan perdebatan sengit di Assemblée Nationale selama dua pekan ke depan, lansir RFI.
Pembahasan RUU itu mencerminkan prioritas pemerintahan Presiden Emmanuel Macron, yang dalam pidatonya di bulan Oktober tahun lalu menggambarkan potret kelam tentang Islam, agama terbesar kedua di Prancis, yang menurutnya secara diam-diam tapi pasti bergerak melawan nilai-nilai masyarakat Prancis.
Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin, seorang politisi sayap kanan, berapi-api mengemban misi melawan “Islamisme” itu dan bahkan dia menulis sebuah buku singkat, yang akan dirilis tidak lama lagi, yang berjudul “Manifesto untuk Sekularisme”.
“Islamisme adalah kuda Troya yang menyembunyikan bom dalam masyarakat kita,” tulis Darmanin, menurut cuplikan bukunya yang dinukil koran Le Figaro. “Dihadapan musuh berbahaya dan licik itu, yang kita tahu jauh dari agama Nabi Muhammad, adalah lumrah bagi pejabat publik untuk mengambil tindakan yang belum pernah diambil sebelumnya.”
Serangan beruntun oleh orang dan kelompok yang mengatasnamakan Islam di Prancis kurun beberapa tahun terakhir menjadi latar belakang diajukannya RUU tersebut. Teks undang-undang itu konon berlaku untuk semua agama, tetapi sebagian kalangan Muslim menganggapnya sebagai anti-Islam.
Pengkritik RUU tersebut mengatakan bahwa apa-apa yang tercantum di dalamnya sebenarnya sudah diatur di dalam aturan perundangan yang berlaku saat ini di Prancis.
Sedangkan politisi rasis dan anti-Islam Marine Le Pen mengatakan RUU itu tidak cukup jauh untuk menarget musuh yang sebenarnya, yang disebutnya Islam radikal.
RUU menginginkan dilakukannya pengawasan terhadap kerja asosiasi-asosiasi keagaman, tempat-tempat ibadah, termasuk masjid, dan ditujukan untuk memangkas pendanaan asing guna mencabut titik masuk bagi “ideologi Islamis” dalam kehidupan sehari-hari Muslim Prancis.
Guna melindungi anak-anak dari indoktrinasi, teks RUU mengharuskan semua anak dari usia tiga tahun diwajibkan masuk sekolah reguler. Menurut media Prancis, sekitar 50.000 anak disekolahkan di rumah pada tahun 2020. Namun, jumlah sekolah-sekolah “klandestin” di mana –konon kabarnya– anak-anak diindoktrinasi ideologi radikal, tidak diketahui.
RUU itu juga mengharuskan asosiasi penerima dana dari pemerintah untuk menandatangani “kontrak komitmen terhadap Republik” guna memastikan mereka menghormati nilai-nilai negara sekuler Prancis. Pendanaan harus dikembalikan apabila kontrak itu dilanggar. Sementara pendanaan dari luar negeri untuk masjid –yang sebenarnya tidak sering ada— tidak dilarang, tetapi jumlah di atas 10.000 euro harus dilaporkan.
Di dalam RUU itu juga ditegaskan bahwa pegawai lembaga pemerintahan atau pelayanan publik harus mematuhi aturan netralitas dan nilai sekularisme, dan mereka juga mendapat perlindungan dari ancaman atau tindak kekerasan.
Sebuah pasal yang dijuluki “UU Paty” –merujuk pada Samuel Paty, nama guru yang menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya dan akhirnya tewas dipenggal oleh seorang migran Muslim asal Chechnya yang mendapatkan informasi tentang guru tersebut dari Facebook– dirancang untuk memerangi ujaran kebencian yang dimuat atau beredar secara online.*