Hidayatullah.com — Kabinet Sudan telah menyetujui untuk mencabut undang-undang boikot ‘Israel’ tahun 1958. Hal itu menyusul perkembangan terbaru dalam hubungan antara kedua belah pihak, lapor Al Jazeera.
Pencabutan undang-undang boikot ‘Israel’ tersebut masih membutuhkan persetujuan dari pertemuan bersama Dewan Kedaulatan Sudan dan kabinet yang berfungsi sebagai badan legislatif sementara Sudan, untuk diberlakukan, kata kabinet.
Sementara otoritas sipil Sudan telah menyatakan bahwa keputusan untuk memulai hubungan dengan Zionis ‘Israel’ akan diserahkan kepada parlemen transisi yang belum dibentuk, pemungutan suara hari Selasa dipandang sebagai langkah yang dapat membuka jalan bagi kunjungan resmi dan hubungan diplomatik lebih lanjut.
“Dewan menteri menyetujui RUU yang membatalkan boikot hukum ‘Israel’ tahun 1958,” ungkap kabinet dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan tersebut juga menekankan “sikap tegas Sudan terhadap pembentukan negara Palestina dalam kerangka solusi dua negara”.
Undang-undang tahun 1958 itu sejalan dengan kebijakan negara-negara Arab saat itu terhadap ‘Israel’.
Hukuman bagi mereka yang melanggar ketentuannya, seperti berdagang dengan orang ‘Israel’, termasuk hingga 10 tahun penjara dan denda yang besar. Tetapi lanskap politik telah berubah karena Sudan, bersama dengan negara-negara Teluk dan Maroko, telah membangun jembatan dengan ‘Israel’ dalam kesepakatan yang dimediasi oleh pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump.
Sudan setuju untuk menormalisasi hubungan dengan ‘Israel’ pada Oktober tahun lalu, sebagai imbalan bagi Washington untuk mengeluarkan negara itu dari daftar hitam “negara sponsor terorisme” berbulan-bulan kemudian.
Khartoum mempertahankan sikap anti-‘Israel’ yang tegas selama tiga dekade pemerintahan mantan Presiden Omar al-Bashir, yang dicopot di tengah protes massal pada April 2019.
Pemerintah transisi pasca-al-Bashir telah mendorong reintegrasi dengan komunitas internasional dan untuk membangun kembali ekonomi negara setelah beberapa dekade sanksi AS dan konflik internal.
RUU itu akan diajukan untuk persetujuan akhir dari Dewan Sovereign yang berkuasa di negara itu, yang terdiri dari tokoh militer dan sipil, sebelum disahkan menjadi undang-undang.
Normalisasi dengan negara Yahudi dilihat di Sudan sebagai inisiatif yang dipimpin oleh militer, yang menyambut kunjungan pejabat ‘Israel’ dalam beberapa bulan terakhir.
Salah satu pejabat itu, Menteri Intelijen Eli Cohen, menyambut baik langkah Khartoum.
“Ini adalah langkah penting dan perlu menuju penandatanganan perjanjian damai antara negara-negara,” ujar Cohen dalam sebuah pernyataan, yang tidak menjelaskan kapan peristiwa seperti itu mungkin terjadi.*