Hidayatullah.com—Sepuluh anak dan ibu yang ditahan di kamp untuk para “jihadis” di Suriah telah dipulangkan ke Belgia.
Itu merupakan repatriasi terbesar tersangka anggota ISIS (IS) Sejak kejatuhan kelompok tersebut pada 2019.
Ratusan orang Eropa yang melakukan perjalanan ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS, termasuk perempuan dan anak-anak, terjebak di kamp-kamp yang dikelola Kurdi di Suriah utara.
Banyak negara Eropa tidak mengizinkan mereka untuk kembali, tetapi Belgia ingin membawa pulang kembali anak-anak kecil.
Tiga ibu dan tujuh anak menolak tawaran untuk kembali ke Belgia, kata sejumlah laporan seperti dilansir BBC Jumat (16/7/2021).
Begitu mereka dipulangkan dari kamp di Roj, Suriah timur laut, para ibu itu diperkirakan akan ditangkap dan didakwa oleh otoritas anti-teror, sementara anak-anak akan dimasukkan ke panti asuhan.
Perdana Menteri Alexander de Croo mengumumkan pada bulan Maret bahwa Belgia akan “melakukan segalanya” untuk memulangkan mereka yang berada di kamp-kamp yang berusia di bawah 12 tahun. Dia mengatakan penting untuk memperhatikan “kesejahteraan” mereka.
Heidi De Pauw, dari LSM Child Focus, memuji keputusan tersebut. Dia mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa anak-anak harus dapat “meninggalkan bahaya dari zona perang ini”.
Setelah pecah perang di Suriah pada tahun 2011, lebih dari 400 orang Belgia pergi ke sana untuk bergabung dengan ISIS – jumlah itu terbesar di antara negara Eropa mana pun.
Di masa puncaknya, IS menguasai 88.000 km persegi area yang membentang di Suriah dan Irak.
Namun setelah militan itu dinyatakan kalah secara teritorial di wilayah tersebut pada Maret 2019, para ibu dan anak-anak dipindahkan ke kamp-kamp bersama dengan ribuan orang lainnya yang mengungsi.
Khawatir terhadap risiko keamanan yang akan mereka timbulkan, beberapa negara Eropa enggan memulangkan warganya dari kamp-kamp tersebut.
Namun, kelompok-kelompok hak asasi manusia mendesak pemerintah untuk mengambil kembali warganya, dengan alasan bahwa meninggalkan perempuan dan anak-anak di kamp tersebut justru menempatkan mereka pada risiko penyakit dan radikalisasi.
Kasus Shamima Begum, pelajar Inggris yang bergabung dengan ISIS pada 2015 dan kemudian dicabut kewarganegaraan Inggris-nya dengan alasan keamanan, adalah salah satu contoh yang menonjol.*