Hidayatullah.com– Mahkamah Konstitusi Thailand telah menangguhkan perdana menteri, Prayuth Chan-ocha, dari tugas resmi setelah memutuskan untuk mendengarkan petisi yang meminta peninjauan kembali batas masa jabatan delapan tahun PM yang diamanatkan secara hukum.
Petisi tersebut diajukan oleh partai oposisi utama, yang berpendapat bahwa waktu yang dihabiskan Prayuth sebagai kepala junta militer setelah dia melakukan kudeta ketika dia menjadi panglima militer pada tahun 2014 harus dimasukkan dalam perhitungan masa jabatan 8 tahun tersebut.
Meskipun Prayuth dapat dikembalikan ke posisinya ketika pengadilan membuat keputusannya, penangguhannya secara tiba-tiba membuat situasi politik Thailand dipenuhi kebingungan.
Empat dari lima hakim yang duduk di majelis memilih untuk menangguhkan jabatannya, mulai hari Rabu (24/8/2022). Prayuth memiliki waktu 15 hari untuk menanggapi keputusan itu, kata pengadilan.
Wakil PM Prawit Wongsuwan didaulat mengambil alih tugas sebagai kepala pemerintahan sementara, kata wakil perdana menteri satunya, Wissanu Krea-ngam.
Tidak jelas kapan mahkamah akan mengeluarkan keputusan final perihal petisi itu.
Prayuth menjadi kepala junta militer setelah tentara menggulingkan pemerintahan terpilih pada tahun 2014, dan menjadi perdana menteri sipil pada 2019 setelah pemilu digelar berdasarkan konstitusi yang dibuat militer. Pemilu selanjutnya dijadwalkan akan digelar pada Mei 2023.
Dalam petisinya, partai oposisi utama berargumen masa jabatan Prayuth sebagai pemimpin junta harus dimasukkan dalam hitungan masa jabatan PM berturut-turut maksimal 8 tahun (2 periode). Jadi, Prayuth seharusnya mengundurkan diri pada bulan ini, karena masa jabatannya sebagai kepala pemerintahan sudah habis. Tidak hanya itu, jajak pendapat menunjukkan hampir dua pertiga rakyat Thailand menginginkan agar pensiunan tentara itu meletakkan jabatan PM bulan ini.
Akan tetapi, sebagian pendukungnya berpendapat bahwa masa jabatannya sebagai PM dimulai pada 2017, ketika konstitusi baru diberlakukan, atau setelah pemilu 2019. Artinya, dia harus diperbolehkan menjabat sampai 2025 atau 2027, apabila terpilih kembali.
Satu periode masa jabatan perdana menteri Thailand adalah empat tahun dan maksimal delapan tahun berturut-turut (2 periode).
Aktivis pro-demokrasi berkampanye melawan Prayuth dan pemerintahannya, dengan alasan pemilu 2019 tidak sah.
Hampir 100 pengunjuk rasa pro-demokrasi di Monumen Demokrasi di pusat kota Bangkok menyambut penangguhan Prayuth sebagai PM, tetapi mengatakan itu saja tidak cukup.
“Kami tidak hanya puas dengan penangguhan Prayuth dari tugasnya. Kami ingin parlemen dibubarkan dan digelar pemilihan dini,” kata seorang aktivis yang mengidentifikasi dirinya sebagai Manee seperti dikutip The Guardian.
“Kami tidak senang. Prayuth mencuri kekuasaan dari seorang wanita dan menjadi perdana menteri lewat kudeta,” imbuhnya, merujuk pada perdana menteri yang digulingkan pada 2014, Yingluck Shinawatra saudara perempuan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra.
Yingluck dan Thaksin saat ini masih tinggal di luar negeri dalam pengasingan.
Pita Limjaroenrat, pemimpin partai oposisi Move Forward, menyerukan agar keputusan atas nasib Prayuth dikeluarkan secepatnya.
“Kami ingin lembaga-lembaga terkait bertindak cepat … hukum dalam masalah ini tidak rumit,” ujarnya. “Apabila Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan dengan cepat, kevakuman pemerintahan yang kita khawatirkan hanya berlangsung singkat.”*