Hidayatullah.com– Orang-orang yang mendonorkan sperma,telur dan embrio di Prancis sekarang harus mencatatkan identitas mereka dan tidak lagi dapat menyembunyikan identitasnya.
Langkah ini merupakan bagian penting dari legislasi yang diloloskan tahun lalu perihal bioetika yang mengatur program kepemilikan anak yang dibantu secara medis.
UU kontroversial itu, yang memberikan jalan bagi pasangan gay dan lesbian dan wanita lajang untuk memiliki anak, sudah disahkan sejak 2021.
Sampai 1 September 2022, identitas orang pemberi “bahan” yang diperlukan untuk “pembuatan anak” dapat menyembunyikan identitasnya.
Sekarang, anak yang dilahirkan dengan bantuan proses medis (misal dilahirkan dari sperma sumbangan) memiliki hak – jika mereka mau – untuk mengetahui identitas pendonor yang memungkinkan dirinya dilahirkan.
Informasi tentang pendonor – termasuk informasi rinci tentang latar belakang keluarganya dan profesinya – akan dicatat saat orang tersebut memberika donasinya. Demikian pula informasi tentang diri .ereka secara umum dan karakteristik fisiknya.
Ketika anak yang dilahirkan sudah mencapai usia dewasa secara hukum, dia bisa mengakses informasi itu guna mengetahui siapa orang tua biologisnya.
Namun, undang-undang itu tidak berlaku surut, kecuali ada permintaan khusus dari seorang anak dan disetujui oleh para pendonor.
Hak yang dijamin dalam UU ini adalah anak yang ingin mengetahui identitas orang tua biologisnya (pendonor) dan bukan sebaliknya. Anak yang dilahirkan dari sperma atau telur sumbangan tidak memiliki kewajiban atau tidak bisa dipaksa secara hukum untuk bertemu dengan orang tua biologisnya, meskipun pertemuan itu tidak dilarang.
Dilansir RFI Jumat (2/9/2022), pakar antropologi Prancis Jérôme Courduriès dalam tulisannya di koran Le Monde mengatakan kewajiban pendonor untuk mengungkapkan identitas sudah diberlakukan di Swedia, Australia, Finlandia dan Inggris.
Courduriès mengatakan fakta bahwa pendonor tidak akan lagi anonim sebenarnya dapat mendorong donasi.
Tahun lalu, angka donasi sperma dan telur di Prancis mencapai angka tertinggi, dengan 600 pendonor sperma (naik dari puncak 404 tahun 2017) dan 900 pendonor telur (naik dari puncak 836 pada tahun 2019).
UU itu tidak akan berdampak pada status legal orang tua. Pendonor dengan alasan apapun berdasarkan UU itu tidak dibenarkan untuk mengklaim sebagai orang tua bayi yang dilahirkan dari sperma atau telur yang disumbangkannya.*