Hidayatullah.com– Berdasarkan undang-undang kejahatan siber, pelaku perbuatan usil prankster di Arab Saudi terancam denda SR5 juta dan bui 5 tahun.
Pakar hukum Dr. Majed Garoub mengatakan kepada Arab News bahwa mengunggah konten berupa aksi keusilan ke media sosial merupakan tindak kejahatan di Arab Saudi, dan dikategorikan sebagai pelanggaran UU Anti Kejahatan Siber.
“Hukuman untuk kejahatan seperti itu berkisar dari SR500.000 sampai SR5 juta atau penjara dari enam bulan sampai tiga tahun. Akan tetapi, terdakwa bisa dikenai hukuman keduanya, tergantung sifat konten melanggar tersebut.”
Dia menambahkan bahwa mengunggah konten prank di media sosial juga termasuk pelanggaran meskipun dilakukan atas persetujuan korban.
Tidak hanya itu, mengunggah ulang atau menyebarluaskan, menyukai atau me-retweet konten prank juga merupakan tindak pidana, kata Garoub.
Dari perspektif legal, ada perbedaan antara prank yang dibuat untuk acara televisi dengan yang diunggah orang di media sosial. Menurut Garoub, prank yang dibuat sebagai acara televisi itu terkategori pertunjukan lawak dan menjadi ranah Komisi Umum untuk Media Audiovisual.
Hasan Faleh Al-Nahsi, seorang influencer media sosial Saudi, mengatakan bahwa kreator konten membuat prank untuk menjaring sebanyak mungkin pengikut.
“Sebagian dari mereka juga berpikir bahwa itu adalah sarana untuk menyenangkan pengikut mereka, dan itu telah menjadi fenomena di media sosial. Namun, masyarakat harus sadar bahwa kegiatan ini melanggar hukum. Kampanye kesadaran juga harus dilakukan untuk memperingatkan pengguna media sosial terhadap dampak negatif dari kegiatan terlarang ini,” kata Al-Nahsi kepada Arab News.
Menurut psikolog Khaled Al-Zahrani, platform media sosial, termasuk Twitter, TikTok, dan banyak lainnya, telah menarik berbagai segmen masyarakat dari kedua jenis kelamin dan kelompok usia yang berbeda untuk alasan yang berbeda.
“Banyak pengguna media sosial muda dan dewasa memggunakan aplikasi media sosial ini sebagai tempat untuk mencari ketenaran dan bahkan memperoleh penghasilan. Untuk alasan ini, pengguna ini terkadang cenderung membicarakan isu-isu yang kontroversial atau menanggapinya dengan cara yang kocak. Tujuan mereka adalah untuk mendapatkan pengikut dan meningkatkan jumlah tampilan materi yang mereka hasilkan atau publikasikan, ”kata Al-Zahrani seperti dikutip Arab News Sabtu (10/9/2022).
Pengetahuan mereka tentang kejahatan siber terbatas, kata Al-Zahrani. Mereka kemungkinan juga tidak menyadari latar belakang budaya masyarakat, dan ini mungkin karena mereka dihadapkan pada sumber budaya dan informasi yang berbeda dan mereka pikir hal-hal seperti itu diterima di dalam masyarakat Saudi.
Dalam kasus lain, Al-Zahrani mengatakan, sebagian dari mereka yang memproduksi konten prank mungkin mencoba memasarkan diri sebagai komedian. “Namun, tujuannya adalah uang,” katanya.
Yuk bantu dakwah media BCA 1280720000 a.n. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah (BMH). Kunjungi https://dakwah.media/
Garoub, yang berprofesi sebagai pengacara, berpendapat bahwa siapapun yang me-repost, memberikan tanda suka, atau me-retweet konten-konten yang melanggar patut dikenai sanksi maksimal. Pasalnya, pelanggaran pertama mungkin dilakukan karena terpengaruh atau faktor emosional tertentu atau tidak sadar akan dampak negatifnya, tetapi orang yang me-repost pastinya sudah menonton konten tersebut dan menegaskan kembali keyakinannya pada konten itu untuk kemudian menyebarluaskannya.
Untuk pelaku pelanggaran yang masih belia, Garoub mengatakan bahwa mereka diperlakukan berbeda. Mereka akan diberi pendampingan khusus dan ditempatkan di tempat khusus. Hakim juga akan menjatuhkan hukuman dengan mempertimbangkan usia dan jenis pelanggarannya.*