Hidayatullah.com—Calon presiden Dr Abdullah Abdullah menilai pemilihan presiden di Afghanistan Sabtu pekan lalu penuh dengan kecurangan, sehingga dia akan menolak apapun hasilnya nanti.
“Apapun hasilnya yang akan diumumkan tidak bisa diterima,” kata Abdullah kepada para wartawan dikutip BBC (19/6/2012).
Mantan pejuang Afghanistan dan menteri luar negeri itu mengatakan, Komite Independen Pemilu dan lembaga pengaduannya tidak netral dan memperingatkan kedua lembaga itu akan “konsekuensi” tindakannya terhadap pemilu tersebut.
Dr Abdullah sebenarnya unggul dalam pemilu putaran pertama bulan April lalu. Namun, dia tidak mendapatkan dukungan yang memantapkannya menjadi pemenang mayoritas suara, sehingga harus ada putaran kedua yang digelar Sabtu lalu (14/6/2014).
Sementara itu kubu Ashraf Ghani, saingan Abdullah, mengaku tidak layak untuk menilai kinerja Komite Independen Pemilu. Mereka juga membantah kecurigaan yang mengatakan pemilu putaran kedua itu sudah diatur oleh loyalis Ghani dan loyalis Hamid Karzai yang memberikan dukungan suara kepada bekas ekonom Bank Dunia itu.
Abdullah telah menyeru agar sebuah komisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelidiki hasil pemilu.
Naeem Ayubzada dari tim pengamat Tansparent Election Foundation of Afghanistan mengatakan kepada BBC bahwa ketidakpercayaan akan hasil pemilu saat ini sudah sangat dalam dan komisi tidak bisa menyelesaikan masalah itu sendirian.
Salah satu isu yang dipermasalahkan dalam pilpres kali ini adalah tentang jumlah pemilih yang menyalurkan hak suaranya. Komisi Independen Pemilu tidak lama setelah tempat-tempat pemungutan suara ditutup langsung mengumumkan bahwa jumlah partisipasi aktif pemilik suara mencapai 7 juta orang.
Begitu cepatnya pengumuman itu disampaikan sehingga menimbulkan kecurigaan di sebagian kalangan. Para pemantau dari lembaga Ayubzada sendiri memperkirakan jumlah warga yang menggunakan hak pilihnya lebih dekat kepada angka 6 juta.
Jika demikian, bisa jadi nanti perbedaan hasil perolehan suara di antara kedua kandidat sangat tipis yang akhirnya menyulut konflik.*