Hidayatullah.com–Dalam serangan dan pelanggaran HAM yang mencolok rezim Suriah, para penduduk Ghouta timur bersumpah tidak akan meninggalkan rumah mereka bahkan jika rezim menghancurkan semuanya.
Mohammed Yaref, seorang penduduk Ghouta timur, mengatakan pada Anadolu Agency bahwa pemukimannya yang dibombardir rezim hanya berisi penduduk sipil dan tidak terdapat satupun markas militer, menunjuk bahwa bombardir telah membunuh setengah dari penduduk pemukiman tersebut.
Yaref menuduh dunia dan Dewan Keamanan PBB “berbohong dan mengabaikan” para penduduk sipil yang menderita di Ghouta timur, berkomentar bahwa para penduduk sipil harus bersembunyi di terowongan bawah tanah untuk menghindari bombardir, tetapi mereka menghadapi kelaparan yang telah mengancam mereka sejak awal operasi militer itu.
“Jika hal seperti ini terjadi di Eropa atau Israel, dunia tidak akan tinggal diam,” kata dia, menyerukan masyarakat internasional bertindak untuk menghentikan apa yang sedang terjadi di Ghouta. Yaref menekankan bahwa tidak peduli berapa lama bombardir akan berlangsung, para penduduk Ghouta tidak akan meninggalkan rumah mereka, dia menambahkan mereka lebih memilih mati dari pada harus pergi.
Baca: 560 Orang Tewas dan 2.000 Terluka di Ghouta dalam 9 Hari
Penduduk Ghouta lain, Maha Okasha, seorang guru, mengatakana sektor pendidikan di wilayah itu mengalami kerusakan besar karena pengeboman yang telah membunuh banyak murid dan guru.
“Saya memiliki seorang murid kelas tiga yang terbunuh dalam pengeboman, dan murid lain kelas satu yang dapat diselamatkan dari reruntuhan bangunan dan dia masih tidak sadar. Para guru di sekolah saya juga terbunuh,” dia mengatakan pada Anadolu Agency.
Tamim Al-Dahm mengatakan rezim telah menghancurkan semuanya di wilayah itu, dan situasinya menjadi tidak dapat digambarkan.
“Kami hanya petani dan kami bukanlah teroris,” katanya menambahkan bahwa dia terkejut oleh penggunaan semua jenis senjata yang digunakan rezim di Ghouta timur. Al-Dahm mengatakan bahwa pemukimannya terkena dua rudal yang menghancurkan lusinan rumah.
“Kami tidak akan meninggalkan tanah kami apapun harganya,” dia menekankan.
Sementara itu, Mohammed Awad, yang kehilangan dua anak laki-lakinya dalam serangan rezim, mengatakan “rezim telah menarget semua bangunan dan kami menghabiskan seluruh waktu kami menarik orang-orang dari reruntuhan.”
Baca: Media Pro-Assad Manipulasi Video Palsu Memojokkan Kelompok Oposisi Ghouta
Pasukan rezim Suriah didukung angkatan udara Rusia memulai serangan paling kejinya atas Ghouta timur pada 19 Februari.
Ghouta timur juga merupakan salah satu dari empat zona de-eskalasi yang didirikan pada Mei lalu oleh Rusia, Iran dan Turki dengan tujuan untuk menghentikan pertumpahan darah perang sipil Suriah. Meskipun begitu, wilayah itu telah mengalami bombardir yang hampir konstan selama berbulan-bulan, dengan pengiriman bantuan yang dibatasi, menyebabkan 400.000 penduduk sipil berjuang untuk bertahan hidup.
Pada Sabtu, dewan keamanan PBB secara bulat sepakat menyerukan genjatan senjata selama 30 hari di seluruh Suriah, sementara para sukarelawan di Ghouta mengatakan satu minggu pengeboman tanpa henti menyebabkan mereka tidak mempunyai cukup waktu untuk menghitung jumlah korban terbunuh dalam salah satu serangan udara paling mematikan perang Suriah. Tidak lama pemungutan suara, pesawat-pesawat jet rezim menyerang kota lain di provinsi itu.
Merespon seruan PBB, Rusia mengumumkan pada Senin sebuah “genjatan senjata kemanusiaan harian” selama lima hari di Ghouta timur, mulai Selasa untuk membantu mengevakuasi penduduk sipil dari wilayah itu.*/Nashirul Haq AR