Hidayatullah.com–Fatwa haram presiden wanita disambut gembira para calon presIden yang akan berlaga pada Pemilu 5 Juli nanti kecuali pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Pasangan Hamzah Haz-Agum Gumelar, misalnya, menganggap keluarnya fatwa tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Ketua Tim Sukses Hamzah Haz-Agum Gumelar, Azrul Azwar, membenarkan, bila pihaknya diuntungkan dengan keluarnya fatwa itu. Fatwa haram memilih presiden perempuan, kata dia, jelas berdampak politis. Ya, kita juga akan diuntungkan dengan pernyataan (fatwa) ini, katanya, dikutip Duta Masyarakat. Lebih lanjut Azrul mengaku dirinya tidak kaget dengan keluarnya fatwa tersebut. Pasalnya, fatwa haram memilih pemimpin perempuan bukan sesuatu yang baru hingga membuat kalangan Islam terkaget-kaget. Apalagi sampai mereaksinya secara berlebihan. Sejak dulu fatwa ini sudah ada. Dan yang namanya fatwa atau hukum memang tidak mengenal kedaluwarsa. Sampai kapan pun fatwa ini akan berlaku, tuturnya. Sikap senang juga datang dari kubu Wiranto-Sholahuddin Wahid. Wiranto menganggap, fatwa yang telah dikeluarkan para kiai itu sangat wajar dan tidak dibuat-buat. Kelihatannya (fatwa itu) spontan saja dan (sudah) berulang-ulang disampaikan – tidak hanya sekarang,” katanya di Mataram, Jumat petang dikutip koran milik Golkar, Suara Karya. Yang paling sewot adalah capres pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Menurut Hasyim, keputusan soal halal haramnya presiden wanita sudah pernah dikeluarkan oleh Munas Alim Ulama NU yang menyatakan hukum tentang hal itu khilaf atau ada perbedaan. Karena itu, Hasyim mengatakan, fatwa itu bertentanan dengan hasil Munas Ulama NU di Mataram 1997. Keputusan Munas jauh lebih tinggi dari keputusan perorangan apalagi jika keputusan itu diambil dalam masa kampanye,” katanya dikutip Antara. Di tempat terpisah, Rois Syuriah PBNU Said Agil Siradj, kubu Hasyim, mengatakan fatwa larangan presiden dijabat perempuan bisa memperuncing konflik di tubuh NU. Padahal fatwa Musyawarah Nasional Ulama NU 1997 telah menetapkan bahwa wanita sebagai warga negara yang memiliki hak berpolitik serta dipandang mampu dan memiliki kapasitas untuk menduduki peran sosial dan politik. Said Agil berharap, fatwa tersebut tidak dijadikan komoditas politik oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Apalagi, sekarang ini, kampanye calon presiden-calon wakil presiden tengah berlangsung. Di Surabaya, Jawa Timur, sejumlah aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menanggapi fatwa kiai NU di Pasuruan dengan berunjuk rasa. Mereka menganggap, fatwa tersebut merendahkan martabat perempuan. Meski tak jelas dalam hal apa, dan di bagian mana martabat wanita bisa rendah dalam hubungan dengan fatwa itu. Sebagaimana diketahui, sejumlah kiai sepuh NU diantaranya KH Abdullah Faqih dari Langitan KH Chotib Umar (Jember) dan KH Chamid Abdul Manan (Madura) dan Ikatan Pondok Pesantren se-Jawa Timur mendukung fatwa Kiai Sepuh yang mengharamkan wanita menjadi presiden. Kesepakatan tersebut dihasilkan dalam Forum Bahtsul Masail (BM) yang digelar di Pondok Pesantren (PP) Roudlotul Ulum, Besuk, Kejayan, Kabupaten Pasuruan, Jumat (4/6) kemarin. Sebelumnya, pihak MUI dan Forum Umat Islam (FUI) pada Pemilu tahun 1999 telah mengeluarkan fatwa serupa meski kemudian, beberapa kiai dan kalangan NU menganggap fatwa itu hanyalah politis. Kini, setelah kalangan NU mengeluarkan hasil rumusan di Forum Bahtsul Masail, bisakah fatwa itu secara istiqomah terus dipegangnya. (ant/dm/cha)