Hidayatullah.com–Pakar hukum tata negara, Sadli Isra menilai, kasus Gayus Tambunan dipandang tidak akan selesai selama Kapolri Timur Pradopo tidak berani melakukan gebrakan dengan memangkas jenderal-jenderal bermasalah di Mabes Polri.
“Bisa saja kalau Pak Timur Pradopo mau melakukan sesuatu yang besar, ya berikan (kasus) ke KPK, lalu pangkas saja jendral yang bermasalah”, ujarnya, Selasa (23/11).
Sadli memandang kasus Gayus sebagai kesempatan bagi Kapolri untuk mendapatkan kembali kepercayaan publik yang sudah sangat rendah.
“Timur punya otoritas tertinggi di kepolisian, hanya presiden yang bisa mengalahkan otoritas itu. Ini momen untuk memangkas orang orang yang merusak wajah kepolisian”, ujar Sadli.
Sadli juga mengatakan, dari sekitar 240 jenderal yang ada di kepolisian, puluhan jenderal diprediksi bermasalah.
Selain itu, Sadli Isra juga menegaskan bahwa memberikan wewenang kasus kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) justru mengurangi tekanan kepada pihak kepolisian. Apalagi keinginan masyarakat agar kasus Gayus Tambunan ditangani oleh KPK sudah sangat tinggi.
“Untuk kurangi beban polisi beri saja ke KPK, walaupun orang orang KPK itu sebagian dari kepolisian juga, tapi lebih berjarak,” tandas pakar hukum tata negara tersebut.
Kalau dukungan publik semakin kuat, kata Sadli, KPK tidak punya alasan untuk tidak ambil alih.
Secara hukum, tambah Sadli, KPK memiliki kewenangan untuk mengambil alih kasus mafia pajak Gayus Tambunan, serta kasus keluarnya Gayus dari tahanan karena memenuhi kriteria kewenangan KPK.
“Jika ada indikasi korupsi KPK bisa mengambil alih, jadi secara hukum kuat, dalam waktu 14 hari jika diminta harus diberikan ke KPK. Jika KPK mau ambil alih, tidak ada tidak, harus diserahkan,” ujarnya kembali menegaskan.
Namun, Sadli Isra mengaku khawatir dengan kondisi di internal KPK dengan adanya sejumlah upaya pelemahan KPK yang terjadi selama ini. “Yang saya khawatirkan kondisi di KPK sendiri tidak cukup kuat untuk mau mengambil alih,” tambahnya.
Untuk itu perlu adanya dorongan dari pemegang kekuasaan tertinggi yaitu Presiden. “Presiden bisa bilang, serahkan ke KPK. Jika Presiden atur substansi perkara, itu intervensi. Tapi kalau mendorong supaya cepat selesai, itu bukan intervensi,” ujar Sadli.
Menurut Sadli, alasan bahwa Presiden tidak dapat ikut campur karena menghindari intervensi kasus, karena ketidakmampuannya.
Sementara analis politik dari Universitas Sumatera Utara, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan, ini merupakan momentum bagi Kapolri Jenderal Timur Pradopo jika benar-benar ingin membuktikan kalau dia merupakan seorang Kapolri yang mampu melakukan reformasi di tubuh Polri.
“Kalau dia (Timur Pradopo, red) benar-benar ingin perubahan di tubuh Polri, kasus ini momen tepat baginya untuk membuktikan hal itu, dan dia juga dituntut harus bisa membuktikan kinerjanya untuk menyelesaikan kasus Gayus, dengan mengusut tuntas seluruh para pati Polri yang terlibat dalam kasus ini,” ujar Taufan.
Namun, kata Taufan, dia meragukan hal itu. Pasalnya, selama ini berbagai kasus hukum yang melibatkan para pejabat tinggi Polri sulit terungkap tuntas. Hal ini karena Polri belum bisa bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur penegak hukum di Indonesia.
“Kalau Timur bisa melawan arus dengan melakukan perubahan, ini merupakan nilai plus yang sangat membanggakan bagi Indonesia dan dirinya, karena sebelumnya belum ada yang berani melakukan hal itu. Dan ini merupakan tantangan bagi Timur,” pungkasnya. [was/hidayatullah.com]