Hidayatullah.com—Banyak pihak sering mengaburkan persoalan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Kasus terbaru ketika riset dari LSM SETARA Institute yang dirilis bulan Desember 2010 berjudul “Radikalisme Agama di Jabodetabek dan Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan.”
Dalam riset itu disebutkan, Kota Bekasi disinggung sebagai daerah yang tak ‘ramah’ terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kasus bentrokan Ciketing Asem yang melibatkan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dengan umat Islam yang terjadi 12 September 2010, dinilai sebagai buktinya.
Namun Ketua Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, Badruzzaman Busyairi, kepada hidayatullah.com mengatakan, bahwa riset tersebut telah mengaburkan makna kebebasan beragama.
Menurut Badruzzaman, kebebasan beribadah memang dijamin dan harus dijaga. Karena itu adalah hak azasi setiap manusia. Namun jika menyangkut urusan pendirian rumah ibadah, ini terkait dengan peraturan dan perizinnan.
“Jika berkaitan dengan pembangunan rumah ibadah itu ada aturan yang harus terpenuhi. Tidak asal mendirikan,” kata Badruzzaman kepada hidayatullah.com.
Badurzzaman menganalogikan dengan warung sate. Jika orang ingin membuka warung sate, sebelum membangun warung, pedagang harus mengantongi izin terlebih dahulu dari banyak pihak. Karena ini berkaitan dengan asap yang bakal dihasilkan saat membakar sate, ujarnya.
Nah, apalagi dalam membangun rumah ibadah. Umat beragamapun dinilai harus mematuhi peraturan yang telah disepakati bersama. Seperti mendapat izin dari warga sekitar.
Yang kerap dipersoalkan, menurut Badruzzaman adalah ketika dalam proses pembangunan rumah ibadah itu tidak mendapat izin dari warga sekitar.
Menurut Badruzzaman, proses ini, tentu tak bisa serta-merta dianggap anti HAM sebagai sikap tidak ramah. Karena di situ ada pelanggaran hukum dan prosedur.
”Inilah yang sering dikaburkan, seolah-olah warga yang tak mengizinkan pembangunan rumah ibadah itu mengekang kebebasan beragama,” jelas lelaki yang juga menjabat Sekretaris Umum Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al Azhar Pusat.
Badruzzaman mengutip penelitian Litbang Kementerian Agama belum lama yang mencatat 15 poin sumber kerawanan. Dua di antaranya, kata Badruzzaman, adalah soal penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah. Agar terhindar dari kerawanan itu, maka, menurut Badruzzaman, umat beragama harus memahaminya.
”Jadi umat beragama harus memahami dua poin ini. Jalanilah aturan bila melakukan penyiaran agama dan pendirian rumah ibadah,” katanya.
Ia mengingatkan, semestinya dalam pembangunan rumah ibadah semua pihak melihat dari sisi kebutuhan. Jangan sampai di tengah lingkungan yang mayoritas penduduknya Muslim tiba-tiba dibangun sebuah gereja atau sebaliknya, jangan sampai dibangun sebuah masjid yang sangat besar di tengah penduduk atau wilayah yang dihuni mayoritas non muslim. *