Hidayatullah.com–31 Mei ditetapkan sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia (HTTS). Berbagai acara digelar untuk memperingati hari tersebut. Salah satunya adalah aksi damai di Jakarta, kemarin.
Tujuan peringatan HTTS tentu saja mengajak masyarakat menyadari bahaya tembaka atau rokok. Semua orang tidak membantah tentang bahaya tembakau. Tapi anehnya, makin tahun jumlah “ahli hisab” (plesetan untuk para perokok) sepertinya tidak berkurang. Buktinya, mesin pabrik rokok di Indonesia masih terus berputar.
Ada sejumlah mitos yang dibangun oleh para pendukung rokok, sehingga gerakan-gerakan larangan rokok yang diprakarsai berbagai pihak selalu kandas. Mitos-mitos itu misalnya nasib para petani tembakau, bertambahnya jumlah pengangguran, berkurangnya pemasukan negara; bila rokok dilarang.
Nah, tulisan berikut ini mencoba membongkar mitos-mitos tersebut
Kasihan Nasib Petani Tembakau
Menurut Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia petani tembakau di Indonesia lebih dari 20 juta orang. Maka bayangkanlah bila rokok dilarang, betapa dahsyatnya dampak sosialnya? Bagaimana nasib jutaan orang yang menggantungkan hidupnya pada industri tembakau itu?
Hasil kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) dan Biro Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan bahwa jumlah petani tembakau di Indonesia tidaklah signifikan, karena hanya 1,6% (sekitar 684 ribu) dari jumlah tenaga kerja sektor pertanian atau setara dengan 0,7% dari jumlah seluruh tenaga kerja di Indonesia.
Dari prosentase jumlah petani tembakau yang kecil itu pun, kondisi sosial ekonomi mereka juga kurang menggembirakan. Kualitas kehidupan masyarakat sering diukur dari tingkat pendidikan formalnya. Nah, pendidikan petani tembakau kebanyakan (69%) hanya lulusan SD.
Dilihat dari rumahnya, 58% masih berlantai tanah. Itu artinya mereka standar kehidupan mereka masih memprihatinkan.
Dililhat dari penghasilan, mereka juga kurang memenuhi standar kehidupan yang layak, karena rata-rata upah petani tembakau hanyalah 47% dari rata-rata upah nasional.
Di sisi lain, petani tembakau nyaris tak mempunyai nilai tawar di hadapan industri rokok. Industri rokok adalah satu-satunya pembeli tembakau. Bahkan konon, yang menentukan mutu tembakau adalah pabrik rokok, sementara para petani diam tak berkutik.
Masing-masing pabrik rokok punya tim yang bakal menilai tingkat mutu tembakau. Ada sekitar 40 tingkatan mutu dan harga. Mutu terendah harganya Rp 500 dan tertinggi Rp 25 ribu per kilogram.
Dari data di atas, jelas telah terjadi ‘penjajahan’ terhadap petani tembakau. Bahkan, seandainya petani melakukan perlawanan, misalnya boikot tidak menanam tembakau. Jangan dikira industri rokok bakal gulung tikar. Mereka punya persediaan tembakau melimpah, cukup untuk satu tahun. Andaikan persediaan tak cukup, mereka masih bisa impor seperti sekarang.
Mengatasi ‘penajajahan’ tersebut, tak ada jalan lain, para petani harus beralih ke pekerjaan lain. Dalam hal ini Indonesia bisa belajar kepada Thailand. Negeri tetangga ini cukup sukses mengajak petani opium beralih ke tanaman lain.
Pemerintah Thailand melakukan pendekatan persuasif sekaligus solutif. Dia tak cuma melarang, melainkan memberi penjelasan dan juga fasilitas bagi petani yang mau beralih ke tanaman lain. Fasilitas itu misalnya memberikan subsidi. Tak pelak, lambat laun petani pun bersedia pindah ke jenis tanaman lain yang tak kalah produktif, misal kopi.
Itulah yang sebenarnya harus dilakukan pemerintah Indonesia. (Dinukil dari buku “Merokok Haram”) */bs