Hidayatullah.com — Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Saharuddin Daming, menyatakan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dalam sidang Rapat Paripurna Komnas HAM mengesahkan rancangan rekomendasi naskah akademik Rancangan Undang-Undang tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan (RUU KUB), kemarin.
Rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM merupakan permintaan lembaga negara DPR RI yang menjaring masukan dari berbagai pihak menyusul digodoknya RUU Kerukunan Umat Beragama oleh Komisi VIII DPR RI.
Saharuddin Daming, satu-satunya komisioner yang menyatakan dissenting opinion terhadap rancangan rekomendasi yang telah disahkan pada rapat paripurna Komnas HAM itu, yang di beberapa kandungannya dinilai rancu dan mendasar dapat melukai perasaan umat.
Dalam tinjauan Daming, rekomendasi naskah akademik Komnas HAM tersebut memuat kesan yang sangat kuat untuk menegasikan keberadaan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 untuk mendukung nikah beda agama.
Padahal, tegas Daming, khususnya pada Pasal 1 dan 2 yang termuat dalam undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
“Saya menolak keras pemikiran dan ide gila ini. Kan jelas, Pasal 2 ayat 2 menegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tapi ini malah justru ingin disingkirkan dengan mendukung praktik nikah beda agama,” kata Daming menjelaskan alasan penolakan kepada hidayatullah.com, Kamis (08/03/2012).
Menurut Daming, ide melegalkan peraturan nikah beda agama merupakan langkan keliru yang semata ingin menggeser nilai-nilai Pansasila dan mau memarjinalkan peran agama.
Daming juga menyoal dan mengajukan keberatan isi dalam rekomenasi itu yang menuntut agar diterapkan aturan kebebasan pendirian rumah-rumah ibadah. Dirinya merasa tidak bisa membayangkan jika rekomendasi itu akan benar-benar disetujui, sebab jika demikian kasus gereja liar yang dipaksa berdiri di komunitas Muslim meski sudah ditolak warga, akan semakin banyak seperti yang marak terjadi di sejumlah tempat.
Yang diherankan Daming, ketika ada kasus sejumlah masjid dibakar dan dirobohkan di Sumatera Utara, masjid yang dilarang berdiri di Papua dan daerah lainnya, justru tidak ada yang ribut dan mempersoalkannya. Tapi giliran gereja yang diprotes warga karena illegal dan berdiri di komunitas mayoritas Muslim, semua langsung mempersoalkan.
“Aturan mendirikan rumah ibadah seharsunya ditegakkan kalau tidak ini akan menyulut lahirnya konflik horizontal. Sekarang ini ada aturannya saja masih seperti ini, apalagi tanpa aturan. Saya kira kebebasan yang mereka anut sudah kebablasan,” tegas Daming.*