Hidayatullah.com–Nashruddin Syarief dinyatakan lulus dalam mempertahankan disertasinya yang berjudul “Pemikiran H. M. Rasjidi tentang Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi”.
Nashruddin Syarief pun dinyatakan sebagai Doktor ke-52 dari Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun, Bogor belum lama ini.
Acara tasyakkur dan bedah disertasi Dr. Nasruddin dilakukan di Gedung Menara Dakwah, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Acara itu dihadiri sejumlah tokoh dan pengurus DDII.
Doktor Nasrudin Syarif selama ini dikenal sebagai salah satu ulama muda Persatuan Islam yang aktif menulis di media massa dan menghasilkan sejumlah buku.
Dalam Sidang Promosi Doktor Pendidikan Islam yang dipimpin langsung oleh Rektor UIKA, Dr. H. E. Bahrudin, M.Ag Nasruddin mempresentasikan penelitiannya tentang kerancuan metodologi studi Islam di Perguruan Tinggi yang mencampurkan metodologi studi Islam perspektif Barat dan Islam dalam pola yang sirkuler, sejajar, dan tidak bisa saling menghakimi.
Akibatnya lahir pemahaman Islam yang liberal dan menolak adanya truth claim.
Nashruddin Syarief dalam disertasinya berhasil mengkritisi dan mengungkap kekeliruan metodologi studi Islam tersebut dengan berdasar pada pemikiran H.M. Rasjidi yang sudah dikemukakannya sejak tahun 1975.
Dari sejak tahun itu, Rasjidi sudah menuliskan sebuah laporan rahasia kepada Departemen Agama tentang kekeliruan studi Islam di Perguruan Tinggi, tepatnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN).
Karena tidak kunjung ditanggapi, H.M. Rasjidi kemudian menerbitkan laporannya tersebut dalam sebuah buku, “Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang ‘Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.”
Dalam buku tersebut, dan buku-buku lain yang ditulisnya, Rasjidi menyatakan bahwa metodologi studi Islam di Perguruan Tinggi harus disempurnakan metode penelitian ilmiahnya dengan tetap menggunakan paradigma kritis terhadap orientalisme Barat (Prasaran tentang Perbaikan IAIN, hlm. 19).
Sebab di balik kemegahan Barat dalam keuletan cara meneliti dan berpikir, tetap terdapat kekeliruan-kekeliruan yang besar terkait Islam (Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, hlm. 11).
Kekeliruan utama studi Islam kaum Orientalis, menurut H.M. Rasjidi, sebagaimana dikemukakan Nashruddin, adalah menempatkan Islam sebagai gejala sosial dan dapat ditemukan dalam setiap kelompok manusia (Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution, hlm. 15-16).
Artinya, Islam tidak dipandang sebagai agama wahyu, melainkan agama yang dilahirkan oleh sejarah, sama halnya dengan agama-agama lainnya di dunia. Dampaknya Islam dinilai sama dengan agama lainnya.
Metode penelitiannya pun sama dengan metode penelitian agama secara umumnya yang hanya terfokus pada aspek historisitasnya semata. Sehingga hasil penelitian tentang Islam pun hanya dari aspek historisitasnya semata, dengan mengenyampingkan wahyu.
Maka al-Qur`an pun dinilai sebagai kitab yang membingungkan karena harus selalu dibaca dalam bahasa Arab (hlm. 28). Keberadaan hadits-hadits dla’if dinilai sebagai bukti bahwa kebenaran hadits tidak sebagaimana halnya kebenaran al-Qur`an (hlm. 31-32). Syi’ah dan Khawarij dianggap bagian dari Islam (hlm. 58, 104-105). Hukum dalam Islam dibuat oleh penguasa dari sejak zaman shahabat, bukan diwahyukan, sebab banyak konsensus shahabat atas hukum-hukum Islam (hlm. 80). Ini terlihat juga dari pintu ijtihad yang ditutup lalu dibuka lagi (hlm. 84). Kekeliruan yang muncul dalam tasawuf atau mistisisme dinilai bagian dari ajaran Islam (hlm. 123). Sejarah yang berdarah-darah seputar peralihan kekuasaan dalam Islam dianggap bagian dari politik Islam (hlm. 64). Perbudakan dianggap bagian ajaran Islam (hlm. 74). Filsafat emanasi al-Farabi dan Ibn Sina dinilai sebagai pemikiran Islam (hlm. 115). Pemikiran ‘Ali ‘Abdurraziq dan Mustafa Kemal yang menganjurkan sekularisme dinilai sebagai bagian dari pembaharuan Islam (hlm. 138-139).
Dengan risetnya ini Nashruddin akhirnye menyimpulkan, saatnya meninjau kembali metodologi studi Islam yang liberal.*