Hidayatullah.com — Warga negara Indonesia yang berada di mancanegara sudah mulai mencoblos meskipun penghitungan suara akan dilakukan serentak tanggal 9 April 2014.
Ketua Biro Hubungan Luar Negeri DPP PKS, Dr. Taufik R. Wijaya, menengarai ada beberapa celah yang memungkinkan terjadinya penyimpangan.
Dijelaskan Taufik, Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk luar negeri sekitar 2 juta pemilih. Sementara DPT di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat 2,3 juta pemilih. Sehingga total daerah pemilihan DKI 2 adalah 4,3 juta.
“Penyimpangan pertama, (ditengarai) DPT tidak akurat, sebab KBRI dan KJRI hanya menggunakan data lama dengan tambahan sekian persen,” kata Taufik dalam pernyataannya kepada hidayatullah.com, Rabu (02/04/2014).
Taufik memandang tidak ada verifikasi pemilih yang terkini. Padahal, jumlah WNI di luar negeri sangat fluktuatif.
Penyimpangan kedua menurut dia adalah dari aspek institusi pelaksana pemilu. Hampir di banyak PPLN tidak ada Panwas LN. Juga, di banyak negara tidak ada saksi partai.
“PKS sendiri hanya punya kader di 22 negara, sehingga banyak saksi kosong atau diwakili. Sayangnya, partai lain kurang punya sensitivitas untuk mengamankàn suara demi menjaga kualitas demokrasi,” tegas Taufik yang terus memantau pencoblosan di beberapa negara.
Menurut Taufik, potensi penyimpangan yang paling rawan, tidak ada pengawasan melekat oleh pihak selain PPLN di saat surat suara datang dari Indonesia, penyimpanan di KBRI dan atau KJRI. Distribusi via pos dan atau drop box juga megandung kerawanan yang sama.
Selain itu, penyimpanan surat suara setelah pencoblosan sampai saat perhitungan dianggap memuat celah potensi penyimpangan serta pengiriman hasil perhitungan kembali ke KPU Pusat, via Pokja Pemilu di Kemlu.
Sementara Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform (CIR), Sapto Waluyo, mendesak agar KPU dan Bawaslu segera mengintensifkan koordinasi dengan Kemlu.
Menurut Sapto tak ada alasan kekurangan tenaga atau biaya, karena para mahasiswa, pekerja atau warga Indonesia dapat digalang partisipasinya.
“Sementara anggaran pemilu Rp 14,4 triliun sudah lebih dari cukup, ditambah Rp 1,3 triliun untuk Satlinmas dan pembangunan TPS baru,” tandas Sapto.
Sapto memandang gejala penyimpangan juga terdeteksi wilayah pedesaan yang sulit dijangkau warga karena sarana transportasi langka.
“Banyak warga yang enggan ke TPS, kecuali ada yang mengantar-jemput dan itu beresiko terhadap pilihan politiknya. Potensi suara warga yang tidak mencoblos, pada gilirannya dapat dimanfaatkan panitia pemilihan yang tidak berintegritas,” ujar Sapto.
Hal itu dinilai dia sangat mungkin terjadi, karena tidak semua partai punya saksi di pelosok dan sikap warga sendiri sudah terbentuk melalui Pilkades dan Pilkada yang transaksional, jelas Sapto yang melakukan kunjungan ke kecamatan Kanor, kabupaten Bojonegoro.
“Pemilu berkualitas pada akhirnya ditentukan sikap pemilih dan penyelenggara berintegritas,” tandasnya.*