Hidayatullah.com—Pergeseran dari Orde Baru ke Orde Reformasi yang telah berjalan selama 16 tahun di Indonesia sering tampak sebagai pergeseran dari situasi otoriter menuju situasi lemah otoritas.
Padahal,demokrasi sendiri memang tidak menghendaki yang pertama (otoriter),tapi juga tidak bisa berjalan tanpa yang kedua (otoritas).
Demikian diungkapkan pengamat politik Prof.Dr.Siti Zuhro,MA saat diskusi acara publik yang diselenggarakan MUI Jabar di Kota Bandung,Rabu (18/06/2014).
Lebih lanjut Zuhro mengemukakan,Orde Reformasi yang telah melahirkan banyak peraturan dalam segala bidang,tetapi juga terlihat kapasitas Negara untuk menegakkan peraturan peraturan tersebut tampak lemah. Menurutnya demokrasi yang berjalan di Indonesia saat ini tanpa nomokrasi.
“Mengapa kita perlu konsolidasi demokrasi dan perbaikan kualitasnya? Karena demokrasi harus berkorelasi positif terhadap kualitas pemerintahan yang melayani,meningkatkan kapasitas dan efektivitas nya dalam merencanakan dan mengeksekusi kebijakan serta menegakkan hukum secara tegas,bersih dan transparan,”jelasnya dalam acara bertema, ”Prospek Kualitas Demokrasi di Indonesia Pasca Pilpres 2014.
Ia menambahkan hingga saat ini Orde Reformasi yang sebelumnya membawa harapan besar justru menyimpan banyak persoalan,seperti korupsi,kemiskinan,persoalan hukum,tingkat pendidikan rakyat yang rendah,pemilih yang pragmatis hingga politik yang cenderung transaksional. Hal ini menurutnya karena ketidakmampuan para politikus untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Selain itu timbulnya ketidakpercayaan rakyat karena parpol dan pemimpin politik tidak mampu menjawab masalah-masalah kolektif.Mereka lebih menunjukan solidaritas antar parpol koalisi dan bergaya hidup elitis ketimbang memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat serta turun ke bawah jika kampanye saja.
“Dengan melihat demokrasi dan politik serta budaya politik saat ini,saya rasa prospek demokrasi usai Pilpres juga tampaknya masih belum cerah,”simpulnya.
Namun begitu,sambung Zuhro,akan cerah bila ada dukungan aktor dan elit politik dalam mendorong konsolidasi demokrasi seperti mengubah perilaku yang positif,menghilangkan gaya elitis,pro rakyat dan menunjukan sikap teladan.
Sementara itu pengamat politik dari Universitas Parahyangan (Unpar), Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf,MH berpendapat bahwa proses demokrasi yang tengah berlangsung di Indonesia belum banyak memberi dampak positif pada kehidupan terutama kesejahteraan rakyat.Tetapi justru telah melahirkan pertikaian,dendam,saling hujat,kritik tajam,konflik dan seolah menjauhkan dari uapaya memakmurkan serta mencerdaskan rakyat.
“Rakyat yang seharusnya diposisikan sebagai penguasa tertinggi dalam arena perpolitikan, justru dijerumuskan,dipinggirkan dan diasingkan.Banyak keputusan politik yang justru tidak melibatkan rakyat dan sebaliknya malah menyengsarakan rakyat,”ungkapnya.
Asep mengambil contoh ajang pemilihan kepala daerah,legislatif hingga presiden dengan biaya yang tidak sedikit,cenderung menghamburkan biaya,munculnya konflik horizontal yang diikuti tindakan anarkis antar pendukung namun tragisnya adalah hasilnya tidak memuaskan. Kondisi ini ,sambungnya,masih diperparah maraknya praktek politik uang,kecurangan,kampanye hitam,penyalahgunaan wewenang dan fasilitas Negara oleh pejabat Negara yang merangkap pejabat parpol,tidak netralnya birokrasi hingga munculnya kasus penyelenggara pemilu yang berpihak pada salah satu parpol atau kandidat.
“Jika kondisi demikian tidak segera diperbaiki maka bisa timbul bencana demokrasi atau darurat demokrasi.Tentu saja yang harus diselamatkan terlebih dulu adalah rakyat,jika tidak rakyat akan lebih banyak menjadi korban dan mengalami kerugian,”tegasnya.
Senada dengan Zuhro, Asep juga berpendapat jika tidak ada upaya perbaikan yang massif dan signifikan maka kualitas dan wajah demokrasi di Indonesia masih akan buram pasca pilpres. Sementara upaya yang bisa dilakukan diantaranya pembenahan dan perbaikan system,perilaku politikus yang positif,jujur,sederhana,berwibawa,santun,pro rakyat serta mampu menunjukan keteladanan.
“Produk perundang-undangannya sudah baik namun jika dalam pelaksanaannya tidak jalan atau tarik ulur kepentingan antar elit maka juga tidak berfungsi atau berpihak pada rakyat. Rakyat harus mendorong upaya perbaikan demokrasi tersebut agar menjadi berkualitas seperti yang diharapkan bersama,” himbaunya.
Untuk dirinya berharap dalam berdemokrasi khususnya menjelang pilpres nanti rakyat tidak terjebak dalam politik uang, pragmatis dan menolak politik transaksional.Di harapkan rakyat khususnya umat Islam semakin cerdas dengan mengamati dan mempelajari Capres-Cawapres yang meski mungkin tidak ada pasangan yang ideal atau sempurna.*