Hidayatullah.com–Anak Indonesia menghadapi tantangan budaya membaca dengan kehadiran internet yang pelan-pelan menggeser budaya membaca masyarakat.
Demikian ditegaskan Direktur Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Nanang Djamaludin. Nanang yang juga salah satu pemrakarsa Forum Taman Bacaan Masyarakat Jakarta ini mengatakan, ketika budaya baca lemah, perkembangan internet terus menarik ceruk terbesar anak yang tak minat baca buku.
“Repotnya, banyak yang menganggap internet mampu gantikan buku. Padahal buku lebih jauh memberi efek “kedalaman” dan “kelezatan” nan personal ketimbang internet,” kata Nanang kepada Hidayatullah.com, Kamis (19/06/2014).
Nanang menyebutkan, meski survei terbaru USAID tentang Early Grade Reading Assesment, anak Indonesia kelas awal secara umum sudah bisa membaca dan hanya 5,9% yang tak bisa baca, serta 48% di kelas awal (atau kelas dua SD) mampu membaca fasih dengan pemahaman, tapi gambaran itu tak selalu menuju budaya membaca yang tinggi.
“Budaya baca buku kita terus mengalami tantangan,” imbuh Nanang.
Dengan kata lain, jelas dia, hadirnya teknologi internet di negeri kita sampai akhirnya menjadi kegandrungan baru masyarakat, justru berlangsung ketika budaya membaca buku demikian masih rendahnya di masyarakat kita.
Hal tersebut dinilai Nanang berakibat pada semakin tertatih-tatihnya upaya mengkonsolidasikan semangat dan tradisi membaca di kalangan anak-anak maupun masyarakat secara luas.
Salah satu solusinya, terang dia, orangtua, ayah dan ibu, harus harus punya buku, mulai membangun sedikit demi sedikit perpustakaan keluarga.
“Dan punya buku itu dalam artian tak sekedar punya saja, tapi juga hobi membaca dan melahap buku-buku yang ada dan dimiliki di rumah,” katanya.
“Membacanya mulai anak sedari kecil, dengan melihat dan terbiasa pada paparan visual aktivitas orangtua yang selain bekerja, mengasuh dan mendidiknya di rumah, orangtua juga membaca buku,” tandasnya.*