Hidayatullah.com– Pemohon Uji Materi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) menyampaikan 5 poin petitum pada gugatannya.
Salah seorang pemohon, Munarman, menjelaskan, pertama, Pasal 1 angka 6 sampai 21 dalam UU tersebut tidak fair (adil) karena beban pembuktian ada di pihak terdakwa untuk membuktikan tidak bersalah. Padahal seharusnya yang mendakwalah yang harus membuktikan terdakwa bersalah.
Kedua, sambungnya, terkait frasa atau kalimat “atau paham lain” pada penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c. Menurut Munarman, kalimat tersebut sangat subjektif dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Ia mengatakan, tafsir dari “atau paham lain” sangat tergantung subjektivitas penyelenggara negara yang berkuasa. Padahal, paham yang dilarang sudah jelas dalam perundang-undangan, yakni atheisme, komunisme, leninisme, dan marxisme.
“Frasa ini seharusnya tidak dicantumkan,” ujarnya saat sidang perdana Pemeriksaan Pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (15/01/2017).
Petitum atau hal yang diminta kepada hakim untuk dikabulkan, lanjut Munarman, adalah Pasal 62 ayat 3 dimana pada pasal tersebut disebutkan pencabutan status ormas tidak membutuhkan pembuktian secara hukum. “Ini melanggar hak kebebasan berserikat dan berkumpul,” ungkapnya.
Keempat, sambungnya, soal pencabutan surat keterangan terdaftar ormas yang berdampak otomatis badan hukumnya juga bubar.
Padahal, jelasnya, MK dalam putusan nomor 82/PUU-XI/2013 menyebutkan, tidak terdaftarnya sebuah ormas bukan berarti badan hukumnya bubar. Tetapi hanya pelayanan oleh negara yang tidak ada.
“Ini yang kita ajukan, kita minta pencabutan administrasi itu tidak menghapuskan kebebasan organisasinya,” jelasnya.
Terakhir, dikatakan Munarman, adalah soal ancaman pidana terhadap pengurus dan anggota ormas yang dilarang. Ia menegaskan, dengan norma tersebut orang yang tidak melakukan pidana hanya karena berasosiasi dengan ormas tertentu menjadi potensial bisa diadili.
“Sementara prinsip hukum negara ini, yang diadili adalah tindakannya bukan asosiasi pikirannya. Kecuali atheis, komunis, lenin, marxis. Itu, kan, sudah ada peraturannya,” pungkas Munarman.
Baca: Imparsial: Beberapa Pasal UU Ormas Sangat Berbahaya, Penting Direvisi
Pemohon sidang perkara nomor 2/PUU-XVI/2018 ini diajukan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Yayasan Forum Silaturahim Antar Pengajian Indonesia, Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia, Perkumpulan Hidayatullah, dan Munarman SH yang didampingi oleh kuasa hukum dari Tim Advokasi GNPF Ulama.*