Hidayatullah.com– Aktivis perlindungan anak yang juga Anggota DPD RI Fahira Idris mengharapkan peringatan Hari Anak Nasional (HAN) menjadi evaluasi bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap upaya, aksi, dan regulasi yang telah digulirkan dalam hal perlindungan anak.
Selama hampir lima tahun ini, program perlindungan anak ia nilai tidak mengalami kemajuan signifikan. Malah dalam beberapa hal, kebijakan pemerintah kontraproduktif untuk melindungi anak dari tindak kekerasan terutama fisik dan seksual.
Salah satunya adalah kebijakan memberikan grasi kepada Neil Bantleman terpidana 11 tahun kasus pelecehan seksual anak yang kini sudah bebas.
“Rapor perlindungan anak kita belum mengembirakan atau masih jauh dari harapan. Bangsa besar ini belum punya grand desain perlindungan anak yang komprehensif. Alhasil program perlindungan anak sifatnya masih sporadis dan berjalan sendiri-sendiri,” ujar Senator Jakarta ini di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (23/07/2019).
Menurutnya, jika ada kasus kekerasan terhadap anak yang diekspos media, barulah persoalan perlindungan anak menjadi perbincangan dan pemerintah sibuk mencari solusinya. Karena sporadis dan berjalan parsial, tak heran terkadang lahir kebijakan yang kontraproduktif.
“Salah satunya pemberian grasi (kepada Neil Bantleman) kemarin,” imbuhnya.
Fahira mengapresiasi keputusan Presiden yang menjadikan kekerasan seksual terhadap anak sebagai kejahatan luar biasa setara dengan narkoba dan terorisme pada 2016 silam.
Namun, keputusan yang salah satunya dilatarbelakangi kasus pemerkosaan anak (YY) oleh 14 laki-laki di Bengkulu ini, katanya, tidak diiringi dengan rencana besar atau grand design perlindungan anak.
Padahal pengarusutamakan isu perlindungan anak dalam setiap rencana dan program pembangunan nasional terutama dalam bidang pendidikan, sosial ekonomi, dan penegakan hukum menjadi mutlak jika bangsa ini ingin menghilangkan praktik kekerasan terhadap anak.
Ia mengatakan, upaya paling mendasar dan efektif dari program perlindungan anak secara nasional adalah menjadikan anak sebagai isu utama pembangunan di semua bidang. Sehingga, kasus-kasus kekerasan anak menurun drastis karena semua lini kebijakan pemerintah menjadikan anak sebagai parameter, baik dari sisi regulasi maupun implementasi.
Selama pengarusutamaan perlindungan anak dalam program pembangunan belum terjadi, maka katanya angka kekerasan anak akan terus meningkat. Data KPAI mencatat, selama kurun 2018 tingkat kekerasan terhadap anak bertambah 300-an kasus dibanding tahun sebelumnya.
“Coba cek proses penyusunan RPJMN atau RPJMD, ada tidak yang memberi ruang kepada anak-anak kita untuk menyampaikan aspirasinya, pendapat, atau keinginan anak-anak tentang wajah Indonesia yang mereka inginkan. Padahal negeri ini milik mereka juga,” ungkapnya.
Masih menurutnya, dari sisi penegakan hukum, kekerasan terhadap anak juga masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Penambahan hukuman maksimal hingga hukuman mati terhadap pelaku kejahatan seksual kepada seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, harusnya menjadi pengikat bagi polisi, jaksa, dan kehakiman untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada siapa saja pelaku kekerasan terhadap anak.
Hal ini dinilai penting sebagai tanda bahwa bangsa Indonesia sedang perang terhadap segala bentuk kekerasan dan kejahatan terhadap anak.
“Ke depan kita berharap tidak ada lagi vonis bebas terhadap pelaku kekerasan terhadap anak seperti yang terjadi di PN Cibinong kemarin. Saya juga berharap Presiden lebih bijak untuk tidak memberi grasi kepada terpidana pelaku kekerasan seksual kepada anak. Karena pemberian grasi ini menjungkirbalikkan upaya perlindungan anak yang sudah susah payah dibangun saat ini,” pungkasnya.
Jokowi dalam HAN kemarin, mengatakan, “Setiap anak harus punya mimpi masa depan, dan tak ada hambatan untuk menggapai cita-citanya. Mereka harus belajar dengan baik, belajar keras, tetapi juga tetap punya waktu untuk bermain, lebih ceria dan beradaptasi dengan lingkungan. Selamat Hari Anak Nasional 2019,” lewat akun twitter resminya, Joko Widodo @jokowi, Selasa (23/07/2019).*