Hidayatullah.com– Sebanyak 81 anak pencari suaka dari luar negeri, mayoritas asal Afghanistan, mulai bersekolah secara resmi di sekolah dasar milik Pemerintah Indonesia di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.
Menurut Kepala Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru Junior Sigalingging, pendidikan anak pencari suaka hanya untuk jenjang sekolah dasar. “Dana pendidikannya diberikan oleh IOM (International Organization for Migration),” ujar Junior.
Junior mengatakan para anak pencari suaka yang terpilih adalah mereka yang sudah dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia. Hal ini sebagaimana yang disyaratkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Junior mengatakan, dari 12 SD negeri yang diajukan IOM, hanya delapan sekolah yang dinyatakan oleh Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru sanggup menampung anak-anak pencari suaka.
Sekolah tersebut di antaranya SDN 159 ada 20 anak, SDN 56 ada 22 anak, SDN 141 ada delapan anak, SDN 170, SDN 48, SDN 190, dan SDN 182 masing-masing menampung tujuh anak, kemudian SDN 17 menampung tiga anak pencari suaka.
Menurut Junior, hingga kini terdapat 285 anak pencari suaka yang berada di Pekanbaru. Akan tetapi, katanya, tidak semua dari mereka dapat bersekolah karena belum cukup umur dan dapat berkomunikasi Bahasa Indonesia dengan lancar.
Junior mengatakan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Hal itu menjadi dasar bagi Indonesia untuk mengizinkan para anak-anak pencari suaka untuk bersekolah di SD negeri.
“Pendidikan adalah hak anak. Mereka mulai sekolah sejak Senin lalu,” ujarnya kutip Anadolu Agency, Senin (07/10/2019).
Hal itu katanya diperkuat juga oleh surat Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memberikan para anak untuk bersekolah di Indonesia. Setelah itu, sebutnya, Rudenim Pekanbaru menerbitkan surat rekomendasi bagi setiap anak pengungsi yang sudah diajukan IOM.
Kepala Sekolah SDN 56 Andri Saputra mengaku senang menerima para anak pencari suaka untuk belajar di sekolahnya. Ia mengungkapkan bahwa anak-anak pencari suaka tersebut sudah dapat berkomunikasi walaupun masih terbata-bata.
Dalam rangka memperlancar proses pembelajaran, Andri menginstruksikan para pendidikan agar menjelaskan pelajaran secara perlahan. “Para guru menambahkan perbendaharaan kata bagi anak-anak,” ujarnya.
Menurutnya, selama proses pembelajaran, anak-anak itu terlihat antusias ketika memasuki hari pertama sekolah. Mereka juga mulai bersosialisasi dengan guru dan teman-teman sekelasnya. “Mereka suka bermain,” ungkapnya.
Menurut Andri, IOM mengalokasikan dana sebesar Rp 800.000 untuk satu anak dalam setahun.
Mereka pun akan terus menempuh pendidikan di SD negeri selama masih berada dalam pengungsian. “Selama masih di Indonesia, mereka akan tetap bersekolah sampai kelas 6,” ujarnya.*