Hidayatullah.com– Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) memaparkan hasil riset yang berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Sebelumnya, pada bulan September lalu secara cepat DPR menyelesaikan RUU Pertanahan dan nyaris disahkan oleh DPR periode lalu.
RUU ini memang merupakan inisiatif DPR Sejak tahun 2005. Akan tetapi RUU tersebut ternyata baru dibahas secara serius pada Agustus 2019 dan diklaim akan melengkapi UU pokok yaitu UU No 5 Tahun 1960 tentang Agraria.
“RUU Pertanahan yang kemarin itu nyaris lolos di DPR itu merupakan sebuah ironi besar bagi cita-cita besar bangsa ini yaitu melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, ini cita besar sejak lama didorong oleh pendiri bangsa kita itu termaktup dalam Undang-Undang Agraria Tahun 1960.
Udang-Undang (Agraria) itu merupakan UUD inti, pokok yang seharusnya dilengkapi dengan undang-undang yang menunjang berjalannya reforma agraria,” Ujar Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam acara diskusi pemaparan riset, yang bertajuk “Tanah Untuk Rakyat, Utopia Reformasi Agraria” di Jakarta, Selasa (15/10/2019).
Menurutnya, RUU Pertanahan yang tempo hari dibahas DPR dan pemerintah banyak melanggar prinsip undang-undang pokok yaitu UU No 5/1960. Yaitu, adanya kebijakan yang jelas memiliki kepentingan dan merampas hak milik masyarakat.
“RUU ini sarat ketentuan yang menguntungkan bisnis di atas hak rakyat, seperti pengingkaran terhadap hak milik masyarakat, kriminalisasi bagi rakyat mempertahankan tanahnya dari penggusuran, memfasilitasi akuisisi lahan skala besar korporasi, masa berlaku hak guna usaha (HGU) mencapai 90 tahun, memberi imunitas pada bagi perusahaan yang pernah melanggar ketentuan HGU, mengizinkan kepemilikan asing atas rumah susun, hingga pendirian bank tanah yang akan menjadikan tanah sekadar komuditas besar,” jelasnya.
Lebih jauh, Yusuf menjelaskan bahwa krisis agraria di Indonesia terlihat dari banyak dimensi. Seperti, ketimpangan struktur kepemilikan tanah yang sangat tajam, konflik agraria yang masif dan persisten, laku kerusakan ekologis yang semakin cepat dan luas, alih fungsi lahan pertanian dan yang tidak terkendali, serta besarnya kasus kemiskinan yang berasosiasi dengan ketiadaan lahan produktif bagi masyarakat kelas bawah.
“Undang-Undang Agraria No 5/1960 menjelaskan populisme, dimana hak milik individu diakui namun harus memilki fungsi sosial. Dengan prinsip ini, penggunaan hak atas tanah tidak dibenarkan semata mata untuk kepentingan pribadi, terlebih dengan merugikan masyarakat. Setiap kepentingan tanah dibebani kepentingan umum, maka politik agraria harus mengedepankan asas produktivitas tanah, kelesatrian tanah, dan kepemilikan tanah yang merata,” tambahnya.
Peneliti IDEAS Meli Triana Dewi menyampaikan, pemerintah seharusnya mengambil kebijakan utama dalam mempertahankan dan mengembangkan skala kecil di Jawa yang harus difasilitasi dengan kebijakan revolusi pertanahan (land reform).* Azim Arrasyid