Hidayatullah.com– Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi menyatakan, penetapan tersangka atas Wakil Bupati Buton Utara mengirim pesan kuat bahwa larangan sedemikian rupa sudah sepatutnya dikenakan pula bagi seluruh pejabat publik di seluruh tingkatan.
“Proses hukum bagi penjahat seksual yang memangsa anak-anak merupakan satu-satunya jalan yang akan menutup penyimpangan penanganan bagi para pelaku kejahatan jenis tersebut. UU tidak memberikan ruang bagi penyelesaian masalah kejahatan seksual terhadap anak melalui mekanisme di luar peradilan,” ujar Kak Seto, sapaan akrabnya dalam rilisnya diterima hidayatullah.com, Ahad (22/12/2019).
Wakil Bupati Buton Utara berinisial RD diberitakan telah ditetapkan kepolisian sebagai tersangka dalam kasus eksploitasi dan pencabulan anak di bawah umur.
Kak Seto mengatakan, LPAI berulang kali menerima laporan dari korban dan keluarga mereka tentang pelaku yang justru aktif menawarkan penyelesaian secara ‘kekeluargaan’ masalah antara pelaku kejahatan seksual dan korban kanak-kanak.
Menurut Kak Seto, tawaran sedemikian rupa justru menjelma sebagai intimidasi bagi korban dan keluarganya. “Dan ini adalah trauma berulang bagi mereka,” imbuhnya.
Ia mengatakan, penyelesaian kasus melalui alur penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan persidangan, yang berujung pada vonis atas terdakwa, adalah wujud keberpihakan negara –khususnya aparat penegak hukum– terhadap korban kejahatan seksual terhadap anak.
“Sebaliknya, mekanisme penyelesaian lewat cara ‘damai’ justru menyembunyikan identitas pelaku dan menghapus catatan kejahatan si predator seksual sehingga membuka peluang bagi pelaku untuk mengulangi lagi perbuatan jahatnya. Sekaligus, penyelesaian ‘damai’ hanya akan mempertontonkan lemahnya komitmen negara dalam memerangi kejahatan seksual terhadap anak, dan ini tentu sangat memalukan,” ujarnya.
Agar semakin sempurna, LPAI menilai pihak kepolisian perlu bekerja lebih dari sekadar “apa yang harus dikenakan terhadap pelaku”.
Kepolisian katanya perlu sejak dini memikirkan “apa yang dapat dilakukan bagi korban”.
Konkretnya, lanjut Kak Seto, sekian banyak bentuk perlindungan khusus yang tercantum dalam UU Perlindungan Anak penting untuk direalisasikan.
“UU dimaksudkan menetapkan perlindungan khusus tersebut sebagai kewajiban sekaligus tanggung jawab yang diembankan kepada pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga terkait lainnya,” ujarnya.
Juga, seiring dengan itu, institusi penegakan hukum dinilai perlu memproses pengadaan restitusi (ganti rugi) yang harus dibayar pelaku kepada korban.*