Hidayatullah.com– Indonesia melalui Komando Gabungan Wilayah Pertahanan I melakukan upaya damai dalam mengusir kapal China pencuri ikan di Perairan Natuna, Kepulauan Riau.
Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksamana Madya TNI Yudo Margono menegaskan, pihaknya telah melakukan upaya persuasif mengajak kapal penjaga pantai China membawa nelayan-nelayannya meninggalkan perairan Natuna.
Sesuai aturan seharusnya nelayan China tersebut ditangkap dan diproses sesuai hukum yang berlaku, jelas Yudo. Sementara kapal penjaga pantai memang hanya diusir keluar dari perairan Indonesia.
“Tapi kita lakukan upaya damai. Meminta mereka keluar dengan sendirinya, di samping upaya negosiasi juga dilakukan Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan China,” ujar Yudo dalam konferensi pers di Pangkalan Udara TNI AL, di Tanjungpinang, Kepri, Ahad (05/01/2020) kutip Antaranews.
Baca: Indonesia Protes Keras China yang Langgar ZEE di Perairan Natuna
TNI pun katanya telah menggelar operasi dengan menurunkan dua unsur KRI guna mengusir kapal asing tersebut keluar dari Natuna.
Katanya operasi tersebut tak mempunyai batas waktu sampai kapal China betul-betul angkat kaki dari wilayah maritim Indonesia.
“Fokus kami sekarang ialah menambah kekuatan TNI di sana. Besok akan ada penambahan empat unsur KRI lagi untuk mengusir kapal-kapal tersebut,” sebutnya.
Pangkogabwilhan I Yudo menyatakan kapal nelayan China menangkap ikan dengan memakai pukat harimau yang ditarik dua kapal di laut Natuna.
“Berdasarkan pantauan kami dari udara, mereka memang nelayan China yang menggunakan pukat harimau,” ujarnya.
Penggunaan pukat harimau di Indonesia telah dilarang oleh pemerintah lewat peraturan menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.
Baca: PKS: Kapal China Usir Nelayan Indonesia di Perairan Kita Tak Bisa Dibiarkan
Disebutkan, nelayan China terakhir kali sebelumnya memakai pukat harimau di laut Natuna sekitar tahun 2016 silam, di mana kala itu TNI menangkap dua kapal negara tirai bambu tersebut.
Sejak penangkapkan tersebut, kata Yudo, tidak ada lagi nelayan China yang berani menangkap ikan di Natuna. Akan tetapi saat ini mereka datang kembali menjarah potensi laut Indonesia.
Bahkan jelasnya aktivitas nelayan China itu kini didampingi dua kapal penjaga pantai (coast guard) dan satu pengawas perikanan China.
Sementara sebelumnya, Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global Universitas Padjadjaran Yusa Djuyandi mengatakan, Pemerintah Indonesia perlu melakukan tindakan tegas dengan pendekatan militer (hard power) selain diplomatik (soft power) dalam menyikapi persoalan Natuna.
“Sudah sepatutnya Pemerintah Indonesia mengambil kembali tindakan tegas, baik secara diplomatik maupun militer,” katanya lewat keterangan tertulis, di Jakarta, Sabtu (04/01/2020).
Yusa menegaskan bahwa Natuna merupakan salah satu pulau terluar di Indonesia yang mempunyai arti penting bagi kedaulatan NKRI. Pulau ini menjadi semakin penting karena secara langsung juga bersinggungan dengan batas laut wilayah negara-negara lain di ASEAN.
“Tidak jarang beberapa kapal nelayan kita dihalau oleh kapal patroli negara lain, seperti Malaysia dan Vietnam, padahal sesungguhnya kapal nelayan kita masih berada di dalam batas wilayah Zone Eksklusif Indonesia. Bahkan tidak jarang pula kapal patroli kita yang juga harus berhadapan dengan kapal nelayan asing yang dilindungi oleh kapal patroli negaranya,” paparnya.
Yusa menekankan bahwa pembahasan mengenai batas wilayah di sekitar laut Natuna sejatinya sudah begitu jelas, yaitu mengikuti hukum Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Namun, pelanggaran dan persinggungan antara kapal nelayan dan patroli Indonesia dengan negara lain selalu saja terjadi. Persoalannya persinggungan dan ancaman itu bukan hanya terjadi sekali atau dua kali, tetapi berkali-kali.
Baca: Kapal Sipil Vietnam Tabrak Kapal Perang TNI AL yang Tangkap Maling Ikan
Yusa menilai, kalau persinggungan terjadi antarkapal patroli negara-negara ASEAN, maka bisa dibicarakan lewat jalur diplomatik dan dalam forum internal ASEAN (soft power), daripada memakai cara kekuatan militer (hard power).
“Namun lain halnya dengan pelanggaran dan ancaman yang diberikan oleh kapal patroli China. Pelanggaran yang dilakukan oleh kapal patroli China perlu disikapi sedikit berbeda dengan pelanggaran oleh kapal laut negara tetangga,” katanya.*