Hidayatullah.com– Forum Zakat (FOZ) kemarin menggelar diskusi Ruang Tengah bertema “Bedah UU Cipta Kerja.” Pada kesempatan itu FOZ mengundang lima narasumber di antaranya, Ketua Umum Pengurus Pusat Perkumpulan Keluarga Besar Taman Siswa (PP PKBTS) Prof. Dr. Cahyono Agus; Direktur LOKATARU, Haris Azhar; Mubyarto Institute, Awan Santosa, S.E, M. Sc; Direktur IDEAS, Yusuf Wibisono; dan Chief Corporate Secretary PPPA Daarul Quran. Hadir pula Ketua Bidang I Forum Zakat, Nanang Ismuhartoyo.
Dalam penjelasannya, Haris Azhar mengatakan bahwa UU Cipta Kerja yang ada ini menunjukkan bahwa kemudahan- kemudahan yang ditunjukkan di UU ini jelas untuk industrialisasi dan bisnis.
“Kita penting menekankan bahwa industri dan bisnis tersebut akan menjadi milik megabisnis dan industri dengan dana dan pasar besar nan luas,” kata Haris Azhar dalam diskusi webinar, Rabu (07/10/2020).
Hukum Omnibus UU Ciptaker, kata Haris, hampir mustahil mendapatkan kegunaan dan kebahagiaan maksimal bagi rakyat. Hal ini dikarenakan posisi tidak imbang antara para pemodal dan warga biasa. “Di tengah pandemi corona ini, UU ini semakin menunjukkan kegagalan pemenuhan hak-hak konstitusional semakin meluas. Segala asupan dan suara publik tidak didengar, wabah corona dijadikan alasan untuk meminimalisir peran publik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Haris menerangkan Pasal 26, misalnya, yang memuat soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam UU Ciptaker justru memangkas keterlibatan masyarakat. Kini, warga tak bisa lagi mengajukan gugatan keberatan terhadap Amdal atas bisnis yang bakal beroperasi di wilayahnya.
Sementara itu, Awan Santosa juga menyampaikan bahwa UU Cipta Kerja cacat ideologis. “Coba cek ada berapa frasa demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dalam 1.981 halaman naskah akademik dan 1.028 halaman RUU Cipta Kerja? Hasilnya sungguh fantastis, sama sekali tidak ada alias nihil! RUU ini dibuat tidak untuk menjalankan amanat konstitusi, demokrasi ekonomi. Jadi, Omnibus Law membunuh ekonomi kerakyatan sejak dalam pikiran!,” tegas Awan Santosa.
Selain itu, lanjut Awan, isi Omnibus Law ini memberi solusi dominan bagi penciptaan lapangan kerja yaitu investasi. Karena, menurutnya, lewat pintu inilah investor menguasai SDA, buruh murah, pasar, dan infrastrutur. “Maka sudah jelas, alasan UU dipenuhi upaya bagaimana penyediaan lahan, peluang bisnis, serta pasar tenaga kerja yang fleksibel bagi kepentingan investor. Dan 7 juta pengangguran pun dijadikan alasan pembenar,” jelasnya.
Bahkan, Awan melihat, dengan pandemi Covid-19 ini diperkirakan ada penambahan jumlah pengangguran antara 2,9 juta-10 juta orang. “Mengharap investasi besar tentu saja tidak masuk akal. Di saat normal saja 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 270.000 tenaga kerja baru, apalagi di saat pandemi sekarang. Terbukti lagi di kala krisis perspektif Omnibus Law berbahaya dan tidak dapat diandalkan,” terangnya membeberkan.
Di samping itu, Yusuf Wibisono menyebutkan bahwa narasi utama dari UU Cipta Kerja adalah karpet merah untuk investasi, terutama menekan biaya lahan dan tenaga kerja. “Ketika negara lain telah jauh mendorong daya saing perekonomian melalui keunggulan teknologi dan keahlian tenaga kerja, bahkan aliansi strategis dan reformasi birokrasi, kita masih terus mengandalkan tanah dan buruh murah sebagai daya tarik utama perekonomian,”kata Yusuf Wibisono.
Di tengah pandemi dan krisis, kata dia, kehadiran UU Cipta Kerja menjadi lambang kemunduran dan kelemahan moral pembangunan yang semakin menjauh dari cita-cita konstitusi untuk demokrasi ekonomi.
Hal itu kemudian dibenarkan pula oleh Nanang Ismuhartoyo. Menurutnya, dalam penyusunan UU Ciptaker tidak ada keterbukaan terhadap publik, padahal UU ini menyangkut hajat hidup warga negara, dan kumpulan UU publik yang dijadikan satu.
“UU ini juga lahir tanpa hati nurani, karena dibuat dan disahkan di saat rakyat negeri ini sedang mengalami bencana pandemi. Dan itu semua demi kepentingan dan dorongan investasi, yang kita semua tahu siapa yang dimaksud investasi itu,” ujar Nanang.
Sementara itu, Pemerhati Pendidikan Cahyono Agus menyampaikan bahwa adanya satu pasal tentang “Perizinan Berusaha” dalam investasi yang bersifat komoditas perdagangan yang berorentasi keuntungan, justru menjadi lubang jebakan utama menuju komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi dunia pendidikan.
Akan tetapi, kata Prof Agus terdapat kesepakatan sebelumnya antara DPR dan Pemerintah untuk mengeluarkan sektor pendidikan dalam pembahasan RUU Ciptaker.
“Komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi dunia pendidikan jelas bertentangan dengan Pembukaan UUD untuk mencerdaskan bangsa, dan pasal 31 UUD 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai Langkah terakhir, insan pendidikan Indonesia berencana untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi,” kata Cahyono Agus.* Azim Arrasyid