Hidayatullah.com- Praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia (ill treatment) masih terus terjadi dan berulang di Indonesia. Banyaknya kasus tindak kekerasan oleh aparat memerlukan kebijakan riil dalam mendukung ratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT).
Berdasarkan data Komnas HAM RI periode Januari-Desember 2020 tercatat 2.524 kasus aduan. Kepolisian menjadi pihak yang paling banyak diadukan hingga mencapai 741 kasus. Sebanyak 150 kasus di antaranya tergolong tindak kekerasan dan/atau tergolong penyiksaan oleh aparat.
“Saya ingin tegaskan bahwa penyiksaan dan perbuatan tidak manusiawi lainnya masih terjadi pada proses penangkapan, pemeriksaan, dan penahanan,” ungkap Wakil Ketua Bidang Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin saat menjadi narasumber dalam “Webinar Ratifikasi OPCAT: Mencegah Keberulangan Penyiksaan dan Ill Treatment” secara daring, Selasa (09/03/2021).
Ketiga jenis tindakan tersebut, diakui Amir, kerap terjadi di tempat-tempat penahanan, tempat-tempat yang tidak bisa diakses secara terbuka, atau tempat-tempat menyerupai penahanan dimana kebebasan seseorang tercabut. Padahal Indonesia telah meratifikasi the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT) melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Namun, hampir 23 tahun UU ini lahir belum menjadi rujukan dalam pencegahan tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia (ill treatment) di Indonesia.
Pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan juga telah diatur dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia nasional maupun internasional. Pasal 28G ayat 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Mengacu pada hal tersebut, Amir menekankan bahwa tindakan penyiksaan, perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia bertentangan dengan konstitusi.
Adanya jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan melalui ratifikasi OPCAT merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilaksanakan. “Upaya kita mendorong ratifikasi OPCAT ini sesungguhnya adalah sejalan dengan amanat konstitusi kita,” tegas Amir.
Ia juga mengajak berbagai pihak seperti Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri, serta kementerian/lembaga lainnya untuk berkontribusi dalam ratifikasi OPCAT sebagai langkah kenegaraan.
OPCAT atau Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat sejatinya hadir untuk melengkapi upaya pencegahan penyiksaan sesuai dengan UNCAT dan menjadi alat praktis untuk membantu negara-negara dalam melaksanakan kewajiban internasional mereka berdasarkan UNCAT dan hukum kebiasaan internasional.
OPCAT bertujuan mencegah penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia dengan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari kunjungan berkala ke seluruh tempat-tempat penahanan di dalam yurisdiksi dan kendali dari negara peserta. Dan, atas dasar kunjungan-kunjungan ini, memberikan rekomendasi-rekomendasi dari ahli-ahli nasional maupun internasional kepada pihak-pihak berwenang dari negara peserta mengenai cara dan langkah-langkah pencegahan penyiksaan.* Azim Arrasyid