Hidayatullah.com — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut pemerintah anti kritik, hal ini lantaran grafiti dan mural presiden Jokowi 404: Not Found di Tengerang dan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan didapati sudah terhapus.
Dalam pengamantan LBH Jakarta penghapusan ini dapat berujung ancaman kriminalisasi terhadap pembuat mural dan grafiti tersebut. Meski demikian, dikatakan bahwa aparat polisi tidak bisa memproses hukum. Presiden yang disebut Pemimpin dan Lambang Negara tidak bisa menjadi alasan proses hukum.
LBH Jakarta menegaskan bahwa pesan masyarakat pada mural yang mirip presiden atau grafiti tersebut sebagai sikap kritik terhadap negara, juga bentuk ekspresi dan aspirasi kritis warga terhadap pemangku jabatan presiden.
“Bukan Presiden sebagai Individu sehingga mural dan grafiti tersebut merupakan bentuk pendapat warga terhadap kinerja Presiden dan pemerintahannya,” tulis pernyataan LBH Jakarta, seperti dikutip Hidayatullah.com, pada Rabu (18/08/2021).
Lebih lanjut, LBH Jakarta juga menerangkan bahwa Presiden bukan lambang negara sebagaimana Pasal 36A UUD 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan. Selain itu, Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga disebut harus dibatalkan.
Seandainya ada pihak yang keberatan atau dinilai ada dugaan pelanggaran bersifat keperdataan dan administratif, kata LBH Jakarta, maka pemilik dari tempat mural dan grafiti itu berada yang dapat mengajukan keberatan.
“Semestinya dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa kerugian keperdataan atau administrasi bukan pendekatan penegakan hukum pidana,” ujarnya.
Selain itu, LBH Jakarta juga menyayangkan penghapusan mural dan grafiti tersebut merupakan bentuk kemunduran demokrasi yang dapat dilihat dengan menyempitnya ruang kebebasan berekspresi dan pendapat. Selain itu, hal ini menunjukkan pemerintah yang semakin anti terhadap kritik masyarakat.
Sejauh ini LBH Jakarta melihat tidak menemukan pembenaran yang bisa dijadikan argumentasi dalam penghapusan dan mengkriminalkan mural dan grafiti tersebut. Hal ini disebabkan pembatasan dari kebebasan berekspresi harus didasarkan undang-undang, untuk melindungi kepentingan publik, keamanan nasional, dan melindungi hak orang lain serta untuk tujuan yang sah.
Diakhir, LBH Jakarta mendesak presiden untuk memerintahkan Kapolri agar menginstruksikan jajaran di bawahnya untuk menghormati kebebasan berekspresi. Dan mendesak Polri dan Menteri Dalam Negeri agar jajaran di bawahnya dan juga Satpol PP untuk menghormati hak kemerdekaan berekspresi dan berpendapat dan menghentikan tindakan represif pelarangan dan penghapusan mural/grafiti bermuatan kritik terhadap pemerintah.*