Hidayatullah.com– Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Indonesia menilai, perlu adanya evaluasi terhadap upaya perlindungan anak yang selama ini telah dijalankan.
Evaluasi itu, kata Ketua Harian LPA Indonesia, Henny Rusmiati, untuk mengetahui apakah hasil yang dicapai positif, negatif, ataupun diam di tempat.
Ia menyatakan, meningginya laporan kasus ke kepolisian justru mengindikasikan fajar cerah dalam dunia perlindungan anak di Indonesia.
“Itu merupakan buah dari orangtua dan masyarakat lebih aktif melapor, media lebih gencar memberitakan, polisi lebih serius menangani laporan,” ujarnya dalam siaran pers yang diterima hidayatullah.com di Jakarta, Ahad (20/11/2016).
Kata Henny, untuk menakar keberhasilan sistem peradilan dalam melindungi anak Indonesia, pihaknya menawarkan formula. Di antaranya dengan membandingkan jumlah laporan kasus anak yang masuk ke kepolisian antarperiode.
“Jika jumlah pada tahun ini lebih tinggi daripada tahun lalu, berarti perlindungan anak lebih positif, karena publik sudah berani melapor,” jelasnya.
Formula selanjutnya, kata dia, dengan membandingkan jumlah laporan yang masuk ke kepolisian dengan berkas yang P21. Semakin tinggi selisih antara P21 dan jumlah laporan, berarti semakin positif.
“Itu pertanda bahwa polisi kian mampu menuntaskan pengungkapan kejadian yang dilaporkan,” paparnya.
Selanjutnya, kata dia, membandingkan putusan pengadilan dengan besaran sanksi pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak. Tetapkan ambang minimal sebesar 80 persen. Semakin banyak putusan yang memidana terdakwa dengan hukuman minimal 80 persen dari total tahun pemidanaan, semakin positif dunia peradilan.
“Artinya, semakin tinggi penghayatan para hakim terhadap tuntutan publik agar pelaku dihukum berat,” tutur Henny.
Poin lain, yakni dengan membandingkan jumlah terdakwa dan jumlah residivis. Semakin rendah selisihnya, berarti efektivitas pemidanaan atau penghukuman semakin tinggi.
Terakhir, tambahnya, formula dalam menakar keberhasilan sistem peradilan perlindungan anak adalah membandingkan besaran restitusi bagi korban.
“Sayangnya, hingga kini belum ada ketentuan teknis tentang pengaturan jumlah restitusi bagi korban,” ungkap Henny.
Komitmen Komnas Perempuan dalam Perlindungan Anak Dipertanyakan
Harapan Positif
Berdasarkan poin-poin di atas, Henny menilai, akan dapat disimpulkan apakah kegagalan negara dalam menangani kasus-kasus kejahatan terhadap anak baru sebatas insidental atau sudah ke taraf sistematik.
Karenanya, terang dia, pihaknya menaruh harapan positif, berdasarkan formula di atas, peradilan pidana sebagai sub-sistem perlindungan anak sudah berfungsi lebih efektif.
Namun jika kegagalan sudah mencapai taraf sistemik, seperti pelanggaran berat terhadap hak anak, maka perlu diterapkan Protokol Opsional Ketiga Konvensi Hak Anak. Bahwa, korban kanak-kanak dapat menyampaikan aduan langsung ke Komite PBB tentang Hak Anak.
“Kami berdasarkan Konvensi Hak Anak, juga memiliki peran langsung untuk memantau implementasi Konvensi tersebut. Termasuk membuat laporan ke Komite PBB terkait pelanggaran sistemik atas hak anak,” pungkasnya.*