Hidayatullah.com– Hari ini, Kamis (15/03/2018), Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) mulai berlaku, meskipun tidak ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
“UU yang telah disetujui DPR walaupun tidak ditandatangani (presiden), berdasarkan ketentuan dalam konstitusi setelah 30 hari, tetap sah menjadi UU,” jelas Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar kepada Hidayatullah.com Jakarta.
Diketahui, alasan presiden tidak menandatangani UU MD3 itu, kata Menkumham Yasonna Laoly, dikarenakan menimbulkan polemik dan penolakan dari masyarakat, termasuk pasal-pasal yang dianggap kontroversi.
Menurut Fickar, itulah contoh UU yang menterinya kurang koordinasi dengan Presiden.
“Bahkan terkesan sok tahu. Sehingga ketika UU sudah jadi, presiden baru tahu dan komplain. Akibatnya Presiden tidak mau menandatanganinya,” ujarnya.
Fickar mengatakan, salah satu dampak dari pasal ancaman pidana kepada masyarakat yang ada di dalam UU MD3 adalah, demokrasi semakin mundur dan DPR semakin tidak mau dikontrol.
“Ketentuan pasal ini kontroversi. Ini pasal mengancam. Dengan pasal ini seolah-olah rakyat diancam oleh wakilnya sendiri untuk tidak boleh keras-keras mengkritik wakilnya,” ucapnya.
Mestinya, kata Fickar, tanpa ada pasal itupun, anggota DPR yang merasa dirugikan oleh orang atau pihak, tetap punya hak untuk melaporkan pidana.
Ia memandang, penerapan pasal ini dapat berakibat semakin tidak tersentuhnya lembaga DPR dan membuat potensi korupsi semakin tumbuh subur di DPR.
“Karena organisasi/masyarakat semakin khawatir dan takut melaporkan korupsi di DPR,” ujarnya.* Andi