Hidayatullah.com– Dalam aksi demonstrasi massa dari Papua di depan Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (22/08/2019), sebuah bendera kecil dengan simbol Bintang Kejora sempat berkibar. Selain berupa bendera, atribut hingga cat wajah beberapa demonstran memuat simbol Bintang Kejora.
Aksi pengibaran dan penampilan bendera dan atribut Bintang Kejora itu menimbulkan pertanyaan soal siapa pelakunya. Begitu pula, belum diketahui apakah aksi itu murni dari gerakan mahasiswa yang menuntut penyelesaian kasus dugaan rasisme oleh oknum di Surabaya dan Malang, atau ada pihak lain yang memboncengi massa aksi.
Terkait itu, anggota Komisi I DPR RI Sukamta sangat menyayangkan pengibaran Bintang Kejora di sekitar Istana yang menjadi simbol penting negara.
Walaupun dikabarkan tidak lama berkibar, namun pengibaran Bintang Kejora itu memberi isyarat bahwa negara harus tegas dan serius menanggapinya. Kalau pemerintah dalam hal ini aparat tak serius meresponsnya, dinilai akan menjadi bom waktu dengan selebrasi yang lebih besar.
Simbol yang biasa digunakan oleh pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu tidak bisa dibiarkan karena akan mengoyak NKRI dan persatuan bangsa Indonesia.
“Bibit separatisme sekecil apa pun perlu disikapi dengan bijak dan segera agar tidak membesar di kemudian hari,” ungkap Sukamta kutip INI-Net, Jumat (23/08/2019).
Sukamta pun mengimbau warga Papua agar menyuarakan hak dan aspirasinya di bawah Merah Putih.
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan, pemerintah harus serius soal ancaman separatisme. Aksi-aksi yang berpotensi diboncengi kepentingan luar tidak boleh berlarut-larut di Papua. Jika perlu ditangani oleh semua lini termasuk dengan cara diplomasi.
“Jika hal ini bisa sejalan dengan kebijakan pembangunan di Papua yang menggelontorkan anggaran hingga Rp 100 triliun, kita harapkan bisa menyelesaikan akar persoalan,” ungkapnya.
Menurut Sukamta, masyarakat Indonesia bersimpati atas aksi-aksi warga Papua sepanjang yang diperjuangkan tidak mencederai nilai-nilai kebangsaan. Sebagai rasa cinta kepada Indonesia, dinilai sebaiknya dalam aksi-aksi yang dilakukan, massa membawa bendera Merah Putih.
Ini sekaligus menandakan nasionalisme dan semangat patriot terpatri dalam sanubari masyarakat Cenderawasih itu. Namun jika perjuangan mereka melenceng, pemerintah harus mengambil sikap tegas.
“Saya kira jika aksinya membawa bendera Merah Putih akan semakin kuat solidaritas buat Papua dari warga masyarakat,” ungkapnya.
Diketahui, dalam aksi oleh kelompok yang mengatasnamakan diri Aliansi Mahasiswa Antirasisme, Kapitalisme, Kolonialisme, dan Militerisme di sekitar Monas dan Istana Kepresidenan, ratusan massa datang menggunakan mobil komando, sebagian massa bertelanjang dada.
Atribut Bintang Kejora sempat dikibarkan dan massa menyanyikan lagu dengan lirik menuntut kemerdekaan Papua. Aksi ini dibalut luapan kekecewaan dan ketersinggungan atas isu dugaan rasisme di Surabaya dan Malang, Jawa Timur.
Semula massa akan menggelar aksi dio depan Mabes TNI AD. Akan tetapi, karena tidak diberi izin, mereka pun beralih ke Monas menuju Istana Kepresidenan. Massa mulai berdatangan ke lokasi sejak pukul 12.30 WIB, Kamis (22/08/2019).
“Kami ingin merdeka! Bendera kami Bintang Kejora, bukan Merah Putih!” teriak seorang peserta unjuk rasa.
Massa mengaku kecewa atas tanggapan Presiden Joko Widodo terkait aksi rasisme yang sedang ramai diperbincangkan. “Tidak bisa begitu saja menyelesaikan dengan minta maaf. Ini bukan lebaran!” ungkap salah seorang orator di mobil komando.
Massa sempat bersitegang dengan aparat kepolisian saat dihalangi bergerak ke Istana. Suasana pun mereda saat massa diberi akses berorasi tak jauh dari depan Istana.
“Papua itu Bintang Kejora, bukan Merah Putih. Biarkan kami si kulit hitam dan rambut keriting memisahkan diri dari kalian,” tegas seorang orator dari atas mobil komando.
Massa meminta keadilan dan merdeka. Mereka juga menuntut agar diakui bahwa Papua sudah merdeka pada 1961. Begitu pun dengan spanduk yang mereka bawa, beberapa diberi tanda bintang.
Massa minta diberikan hak dalam menentukan nasib sendiri untuk mengakhiri rasisme dan penjajahan di Papua Barat, pesan dari salah satu spanduk besar yang dibawa massa.
Bendera Bintang Kejora digunakan untuk wilayah Nugini Belanda dari 1 Desember 1961 hingga 1 Oktober 1962 ketika wilayah ini berada di bawah pemerintahan Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kini, bendera ini biasa digunakan oleh pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Pantauan hidayatullah.com di media massa, Jumat (23/08/2019), aksi membawa dan mengibarkan bendera Bintang Kejora itu menuai kecaman. Warganet membandingkannya dengan perlakuan aparat yang kerap kedapatan dalam video merampas atau mengambil bendera berlafadz dua kalimat tauhid.
“Pengen tahu statemen org yg membina Pancasila/BPIP ttg warga Papua bawa bendera bintang kejora di depan aparat please. Dulu kan sdh sengak bully bendera HTI dan Enzo yg konon disebut kalimat tauhid, tapi alergi thd hal tsb hiks. Kl mnrt aku warga papua ini nekat, nurut pk MMD?” kicau akun Yandra Asril @YandraAsril, Jumat (23/08/2019) saat membalas unggahan Prof Mahfud MD.*