Hidayatullah.com–Muhammad Sirajuddin Syamsuddin lahir di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, pada 31 Agustus 1958. Ayahnya bernama Syamsuddin Abdullah. Ibunya bernama Rohana. Putra kedua dari sembilan bersaudara ini, termasuk keluarga Muslim yang taat.
Sejak kecil, Din dikenal sebagai sosok yang tekun dan ulet. Ketekunan serta keuletannya itu, tampak selama ia menempuh madrasah ibtidaiyah di Sumbawa Besar. Din kecil seolah tak memiliki banyak waktu seperti kebanyakan anak-anak seusianya untuk bermain sepulang sekolah.
Seperti dikutip Suara Muhammadiyah, menurut penuturan Fachri—adik kandung Din– kakaknya itu juga belajar privat kepada ayahnya. Setiap pulang sekolah dan pengajian, Din selalu mempelajari kembali pelajaran yang didapatnya bersama sang ayah.
Ayah Din merupakan pegawai Lembaga Urusan Agama, sekarang Kementerian Agama. Ayahnya juga dikenal sebagai seorang kiai dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ilmunya mumpuni sehingga kerap dimanfaatkan Din untuk membimbing belajar. Alhasil, Din mampu menyelesaikan madrasah lebih cepat dua tahun dari waktu yang semestinya.
Din kecil juga dikenal sebagai sosok pemberani. Sejak kecil sudah terbiasa ceramah dan tampil di berbagai acara politik. Itu juga tak lepas dari pengaruh sang ayah, yang aktif berkiprah dalam gerakan keagamaan dan politik. Dengan senang hati, Din menawarkan diri untuk menjadi sekretaris pribadi, menemani sang ayah di berbagai kegiatan dakwah maupun politik.
“Saya dulu sebagai anak kecil juga nakal, tapi bukan nakal negatif, membangkang. Nakal anak kecil-lah. Beliau selalu ucapkan ‘jangan jadi sampah masyarakat’,” jelas Din saat ditanya tentang pesan yang paling berkesan dari sang ayah,l dikutip dari majalah Suara Hidayatullah.
Waktu itu, usianya masih sekitar 5 tahun. “Sudah dijejali pesan itu berkali-kali. Apa ya sampah masyarakat? Nggak nyambung juga. Setelah dewasa, ooo … maksudnya jadilah orang yang berguna. Bukan orang yang diinjak-injak atau dibuang karena citra kotor,” jelas Presiden Asian Conference of Religion for Peace (ACRP) yang berpusat di Tokyo ini.
Din juga banyak belajar kepada pamannya, seorang pendidik yang datang ke Sumbawa. Kehadiran pamannya, masih menurut Fachri, selain mendorong Din melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo (Jawa Timur), juga sebagai inspirasi untuk aktif di persyarikatan Muhammadiyah.
Keluarga besarnya di Sumbawa mulai aktif mendirikan ranting (pengurus Muhammadiyah tingkat kecamatan). Rumahnya bahkan menjadi sekretariat dan lokasi pengajian warga Muhammadiyah. Tak heran, setelah diamanahi sebagai Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) saat sekolah di Sumbawa, Din kemudian menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ketika kuliah.*