Hidayatullah.com—Para generasi muda di Jalur Gaza mungkin akan menjadi anak-anak muda yang kurang berpendidikan, kurang profesional, dan lebih radikal, akibat blokade Israel yang telah membatasi kesempatan pendidikan dan pekerjaan, demikian disampaikan PBB dan sumber-sumber lain.
Blokade empat tahun telah sangat berpengaruh kepada pemuda usia 18-24, yang akses ke pendidikan tinggi, pertukaran akademis, dan pengembangan profesional terbatasi, kata Kementerian Pendidikan Gaza. Sekitar 65 persen dari 1,6 juta rakyat Gaza berada di bawah usia 25 tahun, menurut perkiraan PBB, sebagaimana dimuat dalam artikel di Middle East Online, Rabu (23/3).
“Pendidikan tinggi dalam segala bentuknya mutlak penting untuk fungsi dari masyarakat dan pembentukan negara Palestina di masa depan,” kata Koordinator Kemanusiaan PBB untuk wilayah Palestina yang terjajah, Max Gaylard kepada media IRIN. “Juga diperlukan keterampilan di sektor profesional, seperti kedokteran dan teknik. “
Tingkat pengangguran di Gaza –hampir 50 persen menurut Biro Pusat Statistik Palestina (PCB)– menunjukkan prospek mengerikan bagi penduduk muda yang berkembang pesat.
Blokade ekonomi yang dilakukan Israel setelah gerakan Islam Hamas menguasai Gaza, telah menghambat impor buku, laboratorium ilmu pengetahuan, dan peralatan pendidikan lainnya ke Gaza, menurut Badan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Israel hanya memberikan bantuan kemanusiaan terbatas.
Kurangnya fasilitas, informasi baru, dan pengalaman, telah menyebabkan kerusakan pada seluruh sistem pendidikan Gaza. Noor, seorang mahasiswa pendidikan bahasa Inggris di Universitas Al-Azhar, universitas peringkat kedua di Gaza, mengatakan, ia tidak memiliki buku penting untuk perkuliahan, dan bahkan kursi-kursi telah hilang dari ruang kuliah.
“Universitas kami tidak siap untuk generasi baru,” jelasnya. “Kami hanya memiliki satu laboratorium dan dua laboratorium komputer, dan itu tidak cukup.”
Tingkat pendaftaran di 14 universitas negeri dan swasta dan perguruan tinggi di Gaza tetap tinggi, namun konflik dan blokade ketat telah serius merusak akses terhadap pendidikan tinggi dan kualitasnya, kata UNESCO dalam laporannya.
Menurut Pusat Hak Asasi Manusia Palestina di Gaza, “Di bawah kebijakan penutupan total sejak Juni 2007, orang-orang Palestina dari Gaza, sekitar 35 persen, yang menjadi mahasiswa di universitas di Tepi Barat, sudah tidak hadir lagi di semua lembaga pendidikan di Tepi Barat (di bawah penguasaan Otorita Palestina yang dipimpin Presiden Mahmud Abbas).”
Pengembangan dua sistem terpisah karena pembatasan gerakan yang dilakukan Israel, berarti hanya sedikit fasilitas bagi mahasiswa Gaza, kata UNESCO.
Tidak Ada Biaya
Sekitar 80 persen dari penduduk Gaza bergantung hidupnya dari bantuan, menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) dan institusi pendidikan tinggi di Gaza tentang aliran keuangan di negeri itu.
Menurut UNESCO, mahasiswa semakin tidak mampu membayar uang sekolah, sehingga terjadi drop-out atau melakukan penundaan studi.
Ketidakmampuan siswa untuk menutupi biaya telah betul-betul mengganggu universitas-universitas di Gaza, karena biaya pendidikan dari mahasiswa berguna untuk sekitar 60 persen operasional universitas, kata LSM Palestina, Sharek Youth Forum.
“Tingkat pendidikan sedang terganggu dan kita mengalami kesulitan menyewa staf dan profesor yang berkualitas,” kata Kamalain Shaath, presiden dari Universitas Islam, peringkat teratas di Gaza dan Tepi Barat. Setengah dari mahasiswa di universitas, ia bilang, tidak sanggup membayar uang kuliah semester ini.
Bangunan Masih Rusak
Universitas Islam, perguruan tinggi pertama yang membuka Fakultas Kedokteran, sedang menyiapkan sekitar 50 dokter muda yang akan lulus musim semi ini, dan akan sangat dibutuhkan di daerah konflik. Sayangnya laboratorium untuk mereka telah hancur akibat Operasi Cast Lead oleh Israel –yang bertujuan mengakhiri serangan roket ke Israel—pada Desember 2009. Sampai saat ini laboratorium masih belum dibangun kembali.
Tujuh universitas dan perguruan tinggi rusak dalam serangan, yang berakhir pada bulan Januari 2010, dengan enam bangunan sepenuhnya hancur dan 16 rusak sebagian, menurut UNESCO. Pada Maret 2011, universitas belum diangun kembali karena embargo pada bahan bangunan.
Kelebihan kapasitas di sekolah juga masalah lain di Gaza. Sekitar 81 persen sekolah umum beroperasi dua jam masuk, menurut Direktur Pelayanan Umum dan Pendidikan Gaza, Sharif Nouman. Pada tahun 2010, hanya tiga sekolah yang dibangun kembali, dan 100 lainnya masih rusak, katanya.
Sementara itu, konflik internal antara faksi Fatah dan Hamas telah menyebabkan kurangnya komunikasi antara Kementerian Pendidikan Gaza dan Tepi Barat, ia menambahkan.
Pengangguran Meningkat
Tingkat pengangguran di antara usia 15-19 sekitar 72 persen, sedangkan pengangguran mempengaruhi 66 persen dari mereka yang berusia 20-24, menurut laporan sosio-ekonomi Kantor Koordinator Khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah (UNSCO ), pada Januari. Di Tepi Barat tingkat pengangguran usia 15-19 tahun 29 persen dan 34 persen untuk kelompok usia 20-24.
Sekitar 70 persen perusahaan industri di Gaza telah tutup selama blokade, menurut OCHA, mengakibatkan 120.000 pekerjaan sektor swasta hilang dalam dua tahun pertama penutupan. Keringanan yang diberikan Israel baru-baru ini telah memungkinkan ekspor terbatas untuk bunga potong dan stroberi dari Gaza ke Eropa.
“Ketika anak muda lulus, mereka hampir tidak memiliki kesempatan untuk mencari pekerjaan di sebuah perusahaan atau asosiasi,” kata Bassam, seorang mahasiswa multi-media di Universitas Al-Azhar di Gaza. Beberapa dari mereka mencoba memulai bisnis mereka sendiri, tetapi, “ini tidak dapat berhasil di Gaza sekarang karena blokade,” tambahnya.
Para pejabat PBB di wilayah itu telah menyatakan keprihatinan bahwa mengisolasi pemuda di Gaza dari nilai-nilai yang lebih luas dan peluang, akan menjadi bumerang. “Sebuah masyarakat yang berkembang pesat, menjadi miskin, yang memiliki batasan pada pendidikan, akan mendorong ekstrimisme dalam bentuk terburuk,” kata Gaylard memperingatkan.
Deputi Direktur-Jenderal Departemen Diplomasi Publik Israel, Danny Seaman, tentang ini hanya mengatakan: “Hamas menggunakan akses ke Israel untuk melakukan serangan teror terhadap warga sipil kami, dan ini ancaman langsung yang melampaui keprihatinan atas militansi yang meningkat pada pemuda di Gaza.”
Sejumlah 71 persen mahasiswa yang disurvei oleh UNESCO melaporkan bahwa mereka tidak berharap tentang masa depan dan mayoritas menyatakan khawatir akan ada perang lagi.
“Sebagian besar rekan-rekan saya ingin pindah,” kata Shadi, 26 tahun, seorang terapis fisik di Kota Gaza. “Kami terisolasi dan frustasi.”*
Keterangan foto: Para mahasiswa S1 di Universitas Islam-Gaza.