Hidayatullah.com–Israel telah mencabut status kependudukan 140.000 warga Palestina yang tinggal di Tepi Barat saat mereka pergi ke luar negeri setelah perang tahun 1967.
Menurut media Israel Haaretz, Rabu (11/05), laporan itu berdasarkan pada dokumen resmi Israel yang ditulis setelah Hamoked (organisasi Israel pembela hak individu) meminta informasi kepada pemerintah berdasarkan Undang-Undang Kebebasan Informasi.
Terungkapnya informasi itu membuat Otoritas Palestina geram. Ghassan Khatib jurubicara pemerintah, menyebutnya sebagai kebijakan “ilegal dan tidak berperkemanusiaan.”
Menurut dokumen itu, warga Palestina di Tepi Barat yang ke luar negeri pada tahun 1967 hingga 1994 lewat Yordania harus meninggalkan kartu identitas mereka di pintu perbatasan Allenby Bridge. Kartu itu kemudian ditukar dengan kartu izin melintas, yang berlaku selama tiga tahun dan harus diperpanjang paling banyak tiga kali.
Jika warga Palestina tidak kembali dalam waktu enam bulan setelah masa kartu berakhir, data mereka akan dikirim ke pengawas sensus setempat. Orang-orang Palestina yang tidak kembali dianggap dan dimasukkan dalam daftar “bukan lagi penduduk”. Dan mereka tidak pernah mendapatkan peringatan mengenai masalah tersebut.
Ahmad Al-Ruwaidhi kepala unit Al-Quds di Kepresidenan Palestina mengatakan, kebijakan Israel sejak tahun 1967 hingga pembentukan Otoritas Palestina pada tahun 1994 itu merupakan “kejahatan perang.”
“Israel melakukan kebijakan pengusiran kolektif di Tepi Barat dan Yerusalem Timur untuk mengubah komposisi demografi di wilayah itu,” tambah Al-Ruwaidhi.
Menurut Al-Ruwaidhi, sebanyak 70.000 warga Palestina penduduk Al-Quds (Yerusalem) Timur kehilangan status kependudukannya sejak tahun 1967.
Sa’eb Erekat, angota komite eksekutif PLO mengatakan,. kebijakan pengusiran warga Palestina oleh Zionis Israel bukan semata-mata kejahatan perang yang melanggar hukum internasional, tetapi juga masalah kemanusian.
“Kebijakan itu melanggar Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan bahwa ‘setiap orang punya hak untuk meninggalkan suatu negara, termasuk negaranya sendiri dan kembali ke negaranya’,” tegas Erekat.*