Hidayatullah.com—Keputusan Presiden AS Donald Trump menjadikan Kota Baitul Maqdis menjadi ibu kota Zionis memancing reaksi kemarahan dunia.
Hari Jum’at sore ini, warga kota London dikabarkan akan turun jalan menolak klaim Donald Trump yang mengakui Jerusalem (Baitul Mqdis) sebagai ibu kota negara palsu bernama Israel.
Sementara itu, Parlemen Tunisia hari Kamis mengadakan sidang darurat setelah pasca pengumuman Trump.
Segenap kekuatan politik Tunisia menyerukan aksi unjuk rasa sebagai protes atas klaim Amerika Serikat (AS) bahwa Baitul Maqdis/al-Quds ibu kota Zionis, dan berencana memindahkan kedubesnya di kota suci tersebut.
Pemerintah dan oposisi Tunisia menolak keputusan Amerika dan menngatakan keputusan Trump sebagai pelanggaran nyata terhadap hukum dan sejarah Kota al-Quds, melanggar resolusi PBB dan perdamaian Palestina-Israel yang disponsori Amerika, yang menyatakan bahwa al-Quds akan menjadi pokok persoalan dalam perundingan final, tulis laman palinfo.
Baca: Donald Trump Resmi Umumkan Baitul Maqdis Ibu Kota Israel
Pihak Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Tunisia dalam rilisnya menyebutkan, klaim Amerika terkait Baitul Maqdis, menjadi ancaman serius bagi perundingan damai, dan memicu ketegangan dan instabilitas, serta memprovokasi bangsa Arab dan umat Islam, karena al-Quds memiliki kedudukan mulia di kawasan dan dunia.
Gerakan Nahdah Tunisia menyatakan penolakan keras klaim Trump, dan menganggapnya sebagai keputusan yang melanggar hukum internasional dan resolusi PBB.
Nahdah menyerukan kepada pemerintah Amerika untuk mencabut keputusannya tersebut.
Gerakan Nahdah juga menyerukan kepada segenap kekuatan nasional untuk menyukseskan aksi menentang keputusan Amerika
Sementara di Palestina, Ketua Biro Politik Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) Ismail Haniyah memperingatkan pengakuan Donald Trump atas Baitul Maqdis sama sebagai ‘sebuah deklarasi perang’.
Haniyah menegaskan bangsa Palestina akan mengobarkan Intifada (perlawanan) menghadapi keputusan Donald Trump ini.Dalam pidato merespon deklarasi Amerika, Haniyah mengatakan, bangsa siap dan Palestina mampu berjuang menghadapi penjajah.
“Kami akan menghadapi perimbangan baru, dan fase politik berbeda pasca putusan ini. Kami harus mengambil kebijakan, dan menetapkan strategi baru menghadapi konspirasi baru terhadap al-Quds dan Palestina,” ujarnya.
Dukungan buta Amerika dengan ‘aliansi setannya’ kata Haniyah, secara sepihak harus kita hadapi dengan tegas. Al-Quds merupakan kesatuan, tak bisa dipisahkan antara Timur dan Baratnya, al-Quds adalah Ibu Kota Palestia, Arab dan Islam, dan seluruhnya menjadi Ibu Kota Palestina.
“Saya tegaskan bahwa Palestina tak bisa dibagi, Palestina dan al-Quds milik kami, kami tak mengakui legalitas penjajahan, tak ada eksistensi bagi Israel di bumi Palestina, sehingga ia tak bisa memiliki ibu kota,” ungkap Haniyah.
Haniyah juga menyerukan untuk menertibkan kembali perjuangan Palestina menghadapi konspirasi berbahaya, dan menyusun prioritas Palestina di hadapan kebijakan dzalim ini.
Ikatan Ulama Palestina menyerukan kepada segenap kekuatan bangsa Palestina untuk menjadikan deklarasi ini sebagai titik tolak bagi revolusi baru, yang bertema deklarasi hitam.
“Langkah Presiden Amerika mengakui Al-Quds sebagai Ibu Kota Israel, akan menjadi permulaan berakhirnya kecongkakan Zionis di tanah Palestina,” ujar Ikatan Persatuan Ulama Palestina dikutip PIC.
Menurut para ulama, persatuan Palestina sangat penting untuk menghadapi ‘aliansi setan’ yang dipimpin Presiden Amerika Serikat ini.*