Prof. Dr. Sjeichul Hadi Permono, SH, MA
(Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, anggota MUI Jawa Timur)
Hidayatullah.com–Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan beberapa hari yang lalu nampaknya membuat beberapa pihak merasa kurang nyaman. Salah diantaranya adalah kelompok yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Madani (AMM) untuk Kebebasan Beragama yang beranggotakan; Dawam Raharjo, Johan Effendi, Syafii Anwar, Ulil Absar Abdalla, Pangeran Jatikusuma (penghayat Sunda Wiwitan), Romo Edi (KWI), Pendeta Winata Sairin (PGI) tersebut mendatangi mantan Ketua PB NU, Abdurahman Wahid di gedung PBNU, Jakarta, Jumat, (29/7) dan meminta mencabut fatwa MUI menyangkut sesatnya Ahmadiyah.
Kepada pers, mereka mengatakan, yang berwenang menentukan benar atau salah adalah Mahkamah Agung (MA), bukan MUI, karena itu ia mendesak MA segera mengeluarkan keputusan soal Ahmadiah.
Senada dengan Gus Dur, Direktur Eksekutif International Centre for Islam and Pluralism (ICIP), M Syafii Anwar menyebut pembatasan pada kebebasan menjalankan keyakinan sebagai langkah mundur karena yang harus dilakukan semestinya adalah upaya membangun rasa saling hormat-menghormati. “Hendaknya MUI tidak menjadi polisi agama atau akidah,” katanya ketika itu.
Sebelumnya, pada penutupan Munas VII, MUI mengeluarkan 11 Fatwa penting. Diantaranya isinya menganggap Ahmadiyah sesat. Pluralisme agama dan Islam liberal adalah ‘haram’.
Untuk melihat lebih jauh dampak fatwa MUI ini, hidayatullah.com mewawancari Prof.DR.Sjeichul Hadi Permono,SH MA, Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, anggota dewan pakar MUI Jawa Timur yang juga guru besar pada Fakultas Syariah.
Apa pendapat anda tentang fatwa MUI kemarin?
Menurut saya, fatwa MUI itu sudah benar. Dan itu sudah keharusan. Soal Ahmadiyah sesat itu itu bahkan sudah diakui oleh jumhur ulama. Dan itu sudah fatwa lama. Bahkan semua ulama internasional sudah sepakat.
Banyak pihak menilai langkah MUI mundur. Misalnya karena menfatwakan pluralisme itu haram?
Agama itu menyangkut kebenaran. Dan agama adalah pilihan antara haq dan yang bathil. Karena itu beragama itu tak bisa disamakan dengan orang mendorong mobil. Yang bisa maju atau mundur. Atau diperlakukan seperti budaya yang harus menyesuaikan zaman.
Apakah jika datang modernisasi atau globalisasi lantas agama disesuaikan dengannya? Kalau begitu, beristinjak atau membersihkan kotoran sehabis buang air besar atau buang air kecil diganti aja dengan tisu. Karena di zaman modern seperti ini pemakaian tisu bisa lebih praktis.
Apakah karena dunia modern banyak para penganut sexual dissorder (kelainan seksual) seperti; gay, lesbian dan incest (hubungan badan sedarah) bebas berkeliaran, lantas Islam menyesuaikannya atau membolehkannya agar dianggap lebih maju? Karena itulah agama Islam keras melarang.
Bagaimana dengan pendapat sebagaian orang yang mengatakan, MUI tak berhak memutuskan “halal” dan “haram”?
Kalau tidak untuk mengeluarkan fatwa, lantas tugas MUI apa? Jadi itu sudah tugas MUI agar bisa menjadi pedoman umat melaksanakan hukum. Jika umat bingung dalam penerapan hukum kita mau lari ke mana? masa ke sosiolog?
Sebagian orang mengatakan MUI tak berhak memonopoli kebenaran?
Pertanyaan itu mirip pernyataan yang mengatakan, “jangan menganggap agamanya paling benar’. Ini logika apa sih. Hati-hati. Pernyataan seperti ini belakangan ini marak terjadi. Kelihatannya ‘madu’ meskipun aslinya ‘racun’ dan sangat menyesatkan.
Kaum Yahudi dan Nashrani saja menganggap kita ini ‘sesat’. Lha kok kita (Islam) yang datang untuk mengoreksi agama-agama sebelumnya (yang oleh Al-Qur’an dianggap salah) malah tidak boleh. Wong kita menganggap agama kita sendiri benar kok gak boleh.
Contoh kecil saja. Kalau tidak ada institusi yang berani mengatakan yang ‘benar’ itu benar dan yang ‘salah’ itu salah. Maka negara ini bingung. Nanti polisi bubar karena tak berani menangkap penjahat. Sebab setiap mau menangkap dia tak berani karena sudah keracunan ‘tak ada monopoli dalam kebenaran’. Jika begitu, bisa-bisa orang membunuh orang dianggap benar menurut dia sendiri. Dan kita tak boleh mengatakan itu salah.
Sebenarnya bagaimana sih proses pengambilan fatwa selama ini?
MUI itu bukan kumpulan orang iseng. Mereka terdiri dari ratusan orang dan pakar. Termasuk ahli agama, khususnya menyangkut ahli fiqh. Sebelum memutuskan suatu hukum, mereka berkumpul dan mendiskusikannya sangat lama. Para ulama itu diminta mengumpulkan kitab-kitab rujukan dan diuji melalui perdebatan panjang. Jadi tidak sesederhana yang dibayangkan orang.
Sebelum mengeluarkan keputusan fatwa, segala yang yang diputuskan itu harus mempunyai dasar atas Al-Qur’an dan Sunnah yang mu ‘tabarah. Juga tidak boleh bertentangan dengan kemaslahatan umat.
Jika tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka keputusan fatwa tidak boleh bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, serta dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, masalih mursalah, dan sadd az-aari’ah.
Yang juga tak kalah penting, sebelum pengambilan keputusan fatwa juga meninjau kembali dengan pendapat para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat. Jadi prosesnya rumit dan tak sederhana. Prinsipinya, fatwa itu dikeluarkan dengan pertimbangan para ahli yang kompeten.
Siapa saja yang duduk di MUI?
Mereka adalah wakil-wakil dari organisasi dan mahzab dalam Islam. Diantaranya NU, Muhammadiyah, DDII, para ulama, kiai, ahli fiqh, hingga pondok pesantren. Pokoknya dari semua mahzab ada. Mereka bukan orang sembarangan. Mereka mewakili bagian dari kelompok terbesar umat Islam ini. Jadi kalau segelintir orang meminta MUI mencabut fatwa, memangnya mereka mewakili siapa?
Artinya setiap keputusan MUI atas kajian para ahli dalam hukum Islam?
Iya lah. Di MUI itu selain para ahli mereka ahli hukum agama. Anehnya, yang teriak-teriak dan yang mengusulkan aneh-aneh itu sangat tidak ahli dan hanya memiliki sedikit ilmu tentang Islam.
Bagaimana anda bisa mengatakan hal itu?
Di kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya pernah menjadi tempat diskusi buku Fikih Lintas Agama yang ditulis oleh Tim Penulis Paramadina. Kami mengundang berbagai unsur di Jawa Timur, termasuk para kiai dan ahli-ahli fiqh.
Di situ muncul pertanyaan peserta tentang kemampuan fiqh salah satu si tim pembuat buku Fikih Lintas Agama. Di situ si pembuat buku secara jujur mengatakan tak begitu paham ushul fiqh, katanya.
Lha wong nggak mengerti ushul fiqh kok berani-benari bikin buku fiqh. Begini-begini inilah yang banyak muncul belakangan ini. Baru mengerti sedikit filsafat Barat saja bukan main beraninya.
Termasuk usulan-usulan segelintir orang tentang hermeneutika (studi kritik) terhadap Al-Qur’an. Dia ini paham nggak dengan ilmu tafsir Al-Qur’an?. Sudah begitu, itu kan tradisi Kristen yang mau dipaksakan dalam Islam. Entahlah, saya kadang sedih akan keberanian orang-orang seperti ini.
Dengan kritikan yang ditujukan pada MUI itu, apa pendapat anda?
MUI itu kan representasi umat Islam Indonesia. Dan MUI itu lembaga tertinggi yang disahkan oleh pemerintah. Ada atau tidaknya kritik kelompok kecil itu, MUI harus ada dan harus menjadi bemper umat Islam. Kalau nggak ada MUI, mau kepada siapa lagi umat ini bepegangan? (Cholis Akbar)