Hidayatullah.com— Ahmad Husnan lahir tahun 1940 di Desa Wangen, Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah. Ia anak keempat dari tujuh bersaudara pasangan Imam Kurmen dan Saudah.
Semasa kecil ia aktif belajar agama dengan ayahnya yang juga seorang ustad. Pelajaran agama juga ia peroleh dari Madrasah Ibtidaiyah pada sore hari. Sementara pagi hari ia sekolah di SD.
Tamat SD, ia melanjutkan ke PGAP IV Negeri Solo. Ia kemudian menuntut ilmu di PGAA Muhammadiyah Padangsidempuan, Tapanuli, Sumatera Utara, dan mu’allimin Muhammadiyah Payakumbuh, Sumatera Barat.
Ia kemudian melanjutkan studi ke Pesantren Islam (Persis) Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, yang dipimpin oleh A. Hasan. Setelah lulus dari sana, ia mendapat tugas belajar ke Syari’ah Jami’ah Islamiyah (SJI) Madinah (Universitas Islam Madinah). ”Waktu itu, Dewan Dakwah mendapat jatah lima orang dari Madinah,” katanya.
Saat kuliah di Syari’ah Jami’ah Islamiyah (SJI) Madinah, atau Universitas Islam Madinah, tahun l968, Ahmad Husnan belajar kepada Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abdul Aali Baz atau biasa disebut Syekh bin Baz, ulama kharismatik yang saat itu menjabat Rektor di sana. Syekh bin Baz dikenal sebagai ulama yang sangat bijak terhadap persoalan-persoalan furu’iyah (cabang), namun sangat tegas dalam masalah-masalah ushul (pokok).
Selain menjadi da’i, Husnan juga mengajar di Pondok Pesantren dengan memegang mata pelajaran tafsir, ushul fiqh, dan ulumul hadits.
Ia juga mengajar kegiatan ta’lim rutin. Jamaahnya berasal dari berbagai kalangan; guru, dokter, kaum profesional, dan lain-lain, dan mengajarkan kitab Riyadus Shalihin dan Bulughul Maram. Husnan masih aktif menulis buku sebagai bentuk ekspresi intelektualnya. Sudah 24 judul buku yang lahir dari tangannya. ”Saya bisa menulis sejak menjadi penyiar radio di PRRI,” jelas lelaki yang mengaku terlambat menikah ini.
Dari bin Baz inilah Husnan mengaku banyak belajar bagaimana bersikap toleransi terhadap berbagai perbedaan pendapat (ihtilaf) antara kaum Muslimin. ”Beliau juga seorang ulama yang sangat menjunjung tinggi akhlak Islam, sebagaimana yang dimiliki oleh para salafus shalih,” jelas Husnan.
Husnan mencontohkan, pernah terjadi perbedaan pendapat antara Syekh bin Baz dengan Syekh Albani tentang sedekap dalam shalat. Syekh bin Baz berpendapat bahwa sedekap lebih kuat dibanding tidak bersedekap. Sedang Syekh Albani berpendapat sebaliknya. Meski berbeda, Syekh bin Baz tidak mencela Syekh Albani. ”Padahal yang kuat memang pendapat Syekh bin Baz,” kata Husnan.
Selain itu, masih banyak ahlak mulia yang ditunjukkan Syekh bin Baz ketika berbeda pendapat dengan ulama lain. ”Meski sudah lulus, saya tetap mengikuti pemikiran-pemikiran beliau,” jelas Husnan
Bagaimana Syekh Bin Baz menyikapi perbedaan ijtihad?
Syekh bin Baz sangat menghormati perbedaan ijtihad. Menurut beliau, ijtihad yang dilakukan seorang ulama mujtahid pada masalah-masalah ijtihadiyah tidak boleh diingkari dan ditentang. Bila ada yang berbeda pendapat dengannya, maka yang lebih tepat dilakukan adalah mengajaknya berdiskusi dengan cara yang paling baik. Kalau tidak memungkinkan, hendaklah dijelaskan lewat tulisan dengan ungkapan yang baik, sindirian yang lembut dan tanpa pelecehan, pencelaan, atau kata-kata kasar yang bisa menyebabkan penolakan terhadap kebenaran. Juga tanpa tudingan terhadap pribadi-pribadi.
Syekh Bin Baz bahkan mengeluarkan fatwa bahwa perbuatan mencela merupakan penganiayaan terhadap hak-hak umat Islam.
Menurut Anda bagaimana seharusnya sikap kita terhadap masalah-masalah furu’iyah?
Kita harus bersikap bijak sebagaimana yang dicontohkan para ulama yang shaleh. Mereka mentolerir perbedaan furu’iyah, namun tegas dalam masalah ushul. Contoh masalah ushul yang kini sedang gencar adalah pemikiran liberal dari Barat.
Karena itu kita harus bersama-sama memerangi pemikiran tersebut, jangan ribut dengan masalah furu’iyah. Ini tugas kaum Muslimin bersama. Jangan sampai pemikiran-pemikiran mereka meracuni generasi Islam.
Menurut Anda apa mungkin berbagai harakah di negeri ini berkumpul dan saling menguatkan?
Idealnya seperti itu. Para ulama madzhab yang berbeda pendapat sudah terbiasa saling bertemu dan menghormati. Antara mereka terjadi komunikasi yang baik dan harmonis. Ini yang seharusnya kita contoh. Semua itu demi kemaslahatan umat. Kalau hal ini bisa kita lakukan, maka tentu saja sangat baik. Sekarang tinggal ada yang mau dan mampu memfasilitasi atau tidak.
Bagaimana kalau MUI yang memfasilitasi?
Semestinya seperti itu. Tapi untuk sementara ini saya belum yakin MUI bisa melakukannya. Wong di dalamnya sendiri masih banyak gesekan, ha.. ha…. Menurut saya, yang paling memungkinkan yaitu jika kesadaran itu muncul dari masing-masing harakah. Saya yakin, setiap hati kecil kaum Muslimin ada keinginan untuk hidup harmonis dan saling tolong-menolong di antara sesama Muslim. Itulah yang diajarkan Islam dan dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat. [bul/SAHID/hidayatullah.com]