Hidayatullah.com—Adian Husaini lahir di Bojonegoro, 17 Desember 1965, pada Jum’at Pon, lewat tengah malam. Ayahnya bernama H. Dachli Hasyim. Sedangkan ibunnya bernama Hj. Tamlikah.
Adian menikahi Megawati dan dikarunia oleh Allah ﷻ tujuh anak; M. Syamil Fikri, Bana Fatahillah, Dina Farhana, Fatiha Aqsha Kamila, Fatih Madini, Alima Pia Rasyida, dan Asad Hadhari. Sekarang, ia menetap di Pondok Pesantren at-Taqwa, Depok, Jawa Barat.
Adian kecil belajar ngaji al-Qur’an langsung kepada kakeknya sendiri, Kiai Muhsin. Juga mulai ngaji kitab-kitab kuning dan Bahasa Arab kepada Kiai Syadili di Langgar al-Muhsin, Desa Kuncen, Padangan, Bojonegoro, serta kepada Ustadz Haji Bisri di Madrasah Diniyah Nurul Ilmi (1971-1981).
Pendidikan formalnya, SD hingga SMA, ditempuh di Bojonegoro Jawa Timur. Lalu, ia melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB, tahun 1989). Berikutnya, ia masuk di Program Pascasarjana Universitas Jayabaya untuk meraih gelar magister dalam Hubungan Internasional dengan konsentrasi studi Politik Timur Tengah. Sedangkan gelar doktornya ia peroleh dari ISTAC-IIUM.
Selain sebagai cendikiawan Muslim, ia juga dikenal produktif menulis buku sebagai sarana dakwah bil qalam (dakwah melalui tulisan). Ribuan artikel dan puluhan buku telah ditulisnya, baik itu di bidang pendidikan, dakwah, pemikiran, filsafat, dan sebagainya.
Di antaranya 5 buku yang ia luncurkan dalam acara 50 tahun Adian Husaini: (1) 50 Tahun Perjalanan Meraih Ilmu dan Bahagia, (2) Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, (3) Kerukunan Beragama, (4) Liberalisasi Islam di Indonesia, (5) 10 Kuliah Agama Islam (di Perguruan Tinggi).
Selain itu, masih ada puluhan buku lain di antaranya; (1) Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal (buku ini dapat penghargaan sebagai buku terbaik untuk kategori non-fiksi dalam Islamic Book Fair tahun 2006 di Jakarta) dan (2) Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (buku ini dapat penghargaan sebagai buku terbaik kedua dalam Islamic Book Fair tahun 2007 di Jakarta).
Selama 13 tahun, sejak Januari 2003 hingga Desember 2015, Adian menulis kolom secara rutin bernama Catatan Akhir Pekan (CAP) untuk Radio Dakta serta website hidayatullah.com. Terakhir, kumpulan catatan itu diterbitkan menjadi buku dengan judul; “Membendung Arus Liberalisme di Indonesia” (Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2009).
Masih ada yang menarik lagi. Tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 2019, ia meluncurkan “Pojok 1.000 Artikel Pilihan”. Pojok ini berisi artikel-artikel pilihan karya Adian, baik yang selama ini telah tersebar di berbagai media massa ataupun yang belum terpublikasi.
Apa yang melatarbelakangi Anda hingga menggagas ‘Pojok 1.000 Artikel Pilihan’?
Saya sudah sekitar 13 tahun menulis Catatan Akhir Pekan—yang sudah dibukukan oleh Hidayatullah. Nah, karena kita sekarang sudah masuk eranya distrubsi, saya melihat tantangan pemikiran begitu besar. Peranan media sosial juga begitu kuat. Dan bahkan informasi kini bertebaran.
Karena itu, menurut saya, umat Islam perlu “panduan” yang sifatnya harian untuk membaca fenomena dan memahami realitas kedepan agar cara berpikirnya tepat, tidak ekstrem, baik itu sekuler atau beragama tapi berlebihan (ghuluw). Panduan-panduan itu dalam bentuk artikel ringan yang terbitnya harian. Jadi, saya melihat hal itu belum ada yang mengerjakan, dan ini sekaligus menjadi tantangan hehe…
Kedua, saat ini eranya sudah digital semua. Kalau kita mau melakukan sesuatu ya basisnya juga harus digital. Sekarang kita lagi bikin versi androidnya dan baru jadi.
Ke depan, saya tidak akan menulis sendiri, tetapi mengajak beberapa penulis lain untuk bergabung. Sehingga, akan lebih banyak lagi artikel yang bisa dinikmati oleh pelanggan Pojok 1.000 Artikel Pilihan.
Bagaimana Anda memulainya, kabarnya sampai begadang tengah malam?
Ya. Kalau sekarang saya punya informasi yang melimpah, dari tulisan-tulisan yang pernah saya tulis. Tapi tidaklah mudah, apalagi menemukan ide. Sampai sekarang kadang masih kesulitan. Ide dari sesuatu yang perlu disampaikan. Tulisan kini saya bikin ringkas. Maksimal 2 halaman. Kalau dahulu, Catatan Akhir Pekan itu sampai 4 halaman. Kan terlalu panjang untuk era internet seperti sekarang.
Apa kesulitan lainnya?
Berat jika tidak punya stok seperti sekarang ini. Tulisan besok tergantung dengan malam ini. Caranya ya merenung, menelaah buku atau mengamati perkembangan situasi terkini untuk menemukan ide.
Namun, sebetulnya mengalir saja. Apalagi saya pernah menjadi wartawan koran selama tujuh tahun. Saya pernah latihan untuk “dipaksa” bekerja dalam tekanan (deadline) sehingga sudah terbiasa. Catatan Akhir Pekan dahulu juga begitu, meski sepekan waktunya, nulisnya ya cuma sehari juga. Sekarang tentu harus bisa lebih cepat lagi. Yang jelas semua pertolongan Allah-lah, selain latarbelakang saya yang memang sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan hehe…
Hingga wawancara ini berapa artikel yang sudah Anda selesaikan?
Pelanggan ‘Pojok 1.000 Artikel Pilihan’ ini menerima insyaAllah 1 artikel baru tiap harinya dan sekarang mereka bisa mengakses sekitar 600-an lebih artikel pilihan.
Apa yang ingin Anda capai dari program ini?
Saya sampaikan ujungnya ya, melalui program ini saya ingin mewujudkan sebuah komunitas yang cerdas serta bijak. Orang yang memahami situasi, ia berpikir bijak serta cerdas. Tidak terburu-buru merespon sesuatu. Karena di era sekarang amat penting dan perlu kebijakan dalam memahami dan menyebarkan informasi.
Bahasan artikelnya tentang apa saja?
Tulisan-tulisan di artikel saya fokus pada bagaimana membangun peradaban Islam serta mengulang-ulang pentingnya worldview, meyakini Islam satu-satunya agama yang benar, dan sebagainya.
Mungkin ada sebagian orang bertanya kenapa harus berlangganan?
Pertama, langganannya sangat murah, Rp 20 ribu sebulan. Siapa sekarang yang tak mampu bayar 20 ribu sebulan? Kalau betul-betul tidak mampu bayar, kita gratiskan. Bayar bakso 20 ribu saja mampu hehe… InsyaAllah tidak memberatkan.
Kedua, saya punya pengalaman ketika nulis artikel dilepas begitu saja, itu kadang kurang disiplin. Tetapi sekarang dengan sistem langganan itu saya juga ada beban. Nah, misalnya kalau tidak berlangganan, mungkin saya bisa menulis seenaknya.
Ketiga, dengan berlangganan juga alhamdulillah bisa untuk operasional. Kan saya punya tim khusus untuk membuat desain website, versi android, dan sebagainya. Jadi berlangganan itu justru agar profesional, mendisiplinkan saya dalam menulis, serta berkelanjutan di mana supaya tim saya bisa terus bekerja.
Hingga wawancara ini sudah ada berapa orang/lembaga yang jadi pelanggan?
Saya kurang tahu, tetapi ada beberapa lembaga seperti universitas yang menjadi pelanggan. Saya belum cek lagi. Mungkin sekitar 600-an pelanggan. Saya juga sempat ragu sejak memimpin Dewan Dakwah apa bisa berlanjut atau tidak. Karena tugas di Dewan Dakwah ternyata juga banyak menulis. Tapi sekarang, saya bisa menyatukannya. Artikel-artikel yang saya tulis setiap hari tentang Dewan Dakwah ternyata banyak sekali. Itu ingin saya terbitkan jadi buku, karena Dewan Dakwah perlu visi, misi, dan profil perjuangan. Dari artikel-artikel itu sudah cukup tergambar. Nanti orang memahami Dewan Dakwah itu mudah dengan membaca puluhan artikel di dalam buku tersebut.
Yang membentuk Anda seperti saat ini apakah ada pengaruh didikan orangtua?
Kalau menulis, nggak. Membaca, iya. Ayah saya guru SD di kampung. Beliau suka bawa buku ke rumah. Sehingga sejak kecil saya sudah senang membaca. Saat itu, juga langganan majalah al-Muslimun dan Panji Masyarakat. Saya juga belajar ngaji kitab-kitab kuning. Dan itu mungkin sejak kelas 4 atau 5 SD. Jadi, tradisi membaca memang sudah terbangun sejak dini.
Saya mulai berlatih menulis yang intensif itu saat kuliah tingkat dua. Saya belajar dengan teman. Tapi waktu SMA, saya biasa rutin menulis buku harian. Lalu nulis surat. Terus menerus, tapi belum dikirim ke media massa. Ketika mahasiswa-lah baru saya aktif menulis karena “dipaksa”. Di IPB saya dapat tugas untuk pegang buletin keruhanian Islam. Setiap Jum’at harus terbit. Kalau tidak ada yang nulis, saya yang harus menulis. Itu berjalan selama beberapa tahun.
Apa yang paling ditanamkan oleh orangtua?
Ayah saya tak banyak ngomong. Beliau lebih banyak memberikan contoh. Misalnya, rajin baca buku dan majalah-majalah Islam. Jadi beliau mencontohkan langsung budaya literasi. Budaya ngaji di surau waktu itu juga masih sangat kuat. Alhamdulillah, orangtua dan lingkungan masyarakat cukup kuat mengarahkan ke situ. Dan pastinya semua karena pertolongan dari Allah Azza Wa Jalla